Kenapa Kau
Buang Aku di Sini, Nak?
Cerpen
Garib Ganjar Santika
Lelaki berambut gimbal, dengan baju compang-camping, dekil,
dan baunya minta ampun—yang biasa tiduran di taman kotaku itu menyita
perhatianku. Beberapa hari ini, aku sering berolahraga—cuma jalan kaki dan
senam ringan, tanpa sengaja sering kulihat lelaki itu, suka senyam-senyum dan
tertawa sendiri. Entah menertawakan apa.
Banyak orang—dan aku juga menyangka dia sebagai orang gila.
Tingkahnya aneh, namun tidak menakutkan karena dia tidak pernah menyakiti
orang-orang yang lewat. Tapi, kata banyak orang dia gila. Isyarat itu sering
kudapatkan dari tukang kebun, yang setiap pagi membersihkan sampah-sampah yang
berceceran di taman.
“Dia gila,” kata Mumu sambil menyilangkan telunjuknya di
jidatnya.
“Dia orang buangan, kayak sampah, ditaro di situ, di sudut
taman kota itu,” terang Mela, pedagang kupat tahu yang biasa mangkal di sana.
“Ya, lelaki itu, entah dari mana asalnya. Yang jelas, kini
lelaki itu jadi penghuni setia taman kota ini,” tambah Medi, pedagang kopi dan
rokok, seakan ikut menjelaskan.
“Saya sering lihat dia suka tertawa sendiri, kadang diam
lama sekali. Kerjanya cuma tidur melulu. Tapi dia tak pernah ganggu orang yang
lewat..” jelas Mela bersemangat.
Aku mengerutkan kening. Benarkah lelaki itu sengaja dibuang?
Benarkah lelaki itu tidak gila? Kalau benar depresi kenapa tidak dititipkan
saja ke pesantren atau kalau benar gila kenapa tidak dimasukkan saja ke rumah
sakit jiwa?
Ya, aku sendiri sering melihat dia—setiap pagi aku suka
mengelilingi taman kota dan melihat lelaki itu dengan santainya tiduran di atas
taman. Dia suka bercakap sendiri dan tertawa sendiri. Dalam beberapa hari ini,
sering kuamati dan aku menyangka dia pasti orang gila baru.
Kata Mela lagi, bahwa lelaki yang kuanggap gila itu,
ternyata tidak gila. “Dia stres, frustasi, karena yang sudah membuang dia itu
adalah anak kandungnya sendiri…”
“Dia jiwanya hancur…Dia sengaja dibuang, karena mungkin anak
istrinya juga sudah tak sanggup mengurusnya,” timpah Medi.
“Dia bapak tua yang malang…”
Masya Allah. Aku kaget. Di saat aku merindukan figur seorang
ayah, di saat aku membutuhkan semangat hidup dari bapakku, di sini, di taman
ini, malah kusaksikan seorang ayah yang dibuang…
Malang benar nasibmu, ayah… Andaikata ayahku masih ada,
tentu tindakanku tak akan seperti itu. Ayah akan aku tempatkan di rumah yang
layak… Aku akan berjuang memberikan sesuatu yang paling berharga ini, khusus
untuk ayah… Andaikata ayahku masih ada, dan hadir di sini, tentu aku akan
bahagia.. Aku rindu padamu ayah…
“Kenapa kamu menangis….” Bu Mela mengagetkanku.
“Oh, tidak, aku hanya rindu ayah, Bu…”
“Memangnya ke mana ayahmu, Nak?”
“Ayahku sudah berpulang, di saat aku masih membutuhkan sosok
ayahku…” tak kuat aku menahan air mata ini,”Ayahku menyusul ibuku yang duluan
meninggal.”
“Oh, maaf, saya jadi menyinggungmu, Nak.”
“Tidak mengapa,” rupanya aku tak kuat menahan derasnya air
mataku.
Lelaki itu, sudah menginspirasi aku untuk mengingat ayah.
Betapa berdosanya aku. Aku belum bisa membalas budi baikmu, ayah…
“Aku pamit dulu, Bu,” kataku cepat sambil meninggalkan taman
kota itu. Ku berjalan sendiri, dengan ransel di pundakku. Dengan gontai, aku
susuri trotoar dan mengutuki nasibku.
Betapa sangat menyesalnya aku. Saat ayah sakit, aku tak bisa
berbuat apa-apa. Aku anak yang durhaka. Apa sesungguhnya yang kucari dalam
kehidupanku ini? Mengapa ayah dan juga ibu sudah berpulang, di saat aku belum jadi
apa-apa?
Aku sudah berjalan dari kota ke kota. Entah, sudah berapa
gunung juga kudaki. Aku sudah melakukan perjalanan yang sudah menghabiskan
waktuku. Tapi, aku sebenarnya mencari apa? Aku lunglai…
Wajah lelaki tua itu kembali mendatangi alam pikiranku.
Rambut gimbal, kerutan pipinya, pakaian yang semrawutan, dan matanya yang
menerawang, terus membayangiku. Aku gelisah siang dan malam. Kini aku jadi
rindu pada lelaki itu—setidaknya untuk mengingat sosok ayah.
Terdengar sebuah lagu ayah mengalun dalam mata batinku. Di mana, akan kucari…/Aku menangis, seorang
diri/Hatiku, slalu ingin bertemu/Untukmu, aku bernyanyi/Untuk ayah tercinta/Aku
ingin bernyanyi/Walau air mata di pipiku….
*
Pada hari yang lain, dengan perlahan, aku mendekati lelaki
misterius itu—yang kusangka gila dan dibuang anaknya itu.
“Aku tidak gila, aku waras…” Lelaki itu tiba-tiba menatapku.
Tak sadar di saat kucari-cari dia, lelaki itu sudah di belakangku.
“Jangan buang aku di sini, Nak,” katanya.
Aku masih tidak percaya bahwa lelaki itu tidaklah gila.
“Jangan lihat dari fisiknya saja, tapi kau lihat ke dalam
lubuk hati,” serunya lagi.
Andaikata ayahku masih hidup, mungkin usianya akan seperti
lelaki itu.
Aku gugup dan hanya diam.
“Andaikata kau anakku, tentu kau tak akan buang aku di sini
kan?” Tanyanya berkerut ke arahku lagi.
Lelaki itu memeluk tubuhku. Sangat kuat. Aku menahan baunya
yang minta ampun. Lagi-lagi lelaki itu memelukku dengan erat dan menangis.
“Aku rindu anakku,” ucapnya.
“Aku juga rindu ayah,” balasku lirih.
Aku tak peduli—kendati ini bukan ayahku, tapi setidaknya aku
merasakan kehangatan dan ketulusannya. Bertahun-tahun, aku tak menemukan sosok
ayah, yang sudah kubanggakan dalam hidupku.
“Jabatan itu neraka. Jabatan itu musibah. Sekarang aku
menderita anak-anakku membuangku di sini.”
Ia mengaku sangat tersiksa hingga kini anak-anaknya tak mau
mengakui lagi sebagai bapak. Semasa muda dia adalah seorang pejabat yang
terhormat. Kariernya melesat cepat. Kepercayaan dan amanah yang disandangnya
menjadi kekuasaan yang langgeng. Hingga ia terpeleset akibat tangan
jahilnya—sering menyunat dana bantuan untuk masyarakat. “Aku dituduh korupsi
akhirnya aku terjatuh…” sesalnya.
Dia melanjutkan, setelah diketahui publik, akhirnya stres
dan stroke…. Dia jadi bulan-bulanan media. Wartawan yang dulu memuji kinerjanya
berbalik arah malah memberitakan segala boroknya, bahkan hingga tahinya pun
terus dikupas. “Aku sakit…dan orang-orang yang dulu mengagungkanku makin jauh
meninggalkanku…”
Ia juga bercerita semasa muda dikenal ketampanannya dan
banyak perempuan lengket padanya. “Aku playboy. Aku banyak uang, perempuan
makin nempel kayak perangko…”
Dia menambahkan, sebagai seorang pembisnis uang dan kekuasaan
adalah segalanya.
“Aku beli semua wanita dengan uang. Aku memiliki segalanya…”
Hingga ia tak sadar setelah jabatan dan kekuasaannya habis,
ia ditendang istri dan pacar-pacarnya, bahkan anak-anaknya pun. “Hingga aku dibuang
ke sini…Ha…ha…” Teriaknya.
Lelaki itu bagaikan mengenang kisah lalunya, nostalgia
hingga nostalgila…Pahit getir kehidupan. Tapi sekarang dia adalah seorang
pesakitan. Tatapan matanya lurus ke depan tapi kosong. Sorotnya tajam tapi
tidak focus melihat apa. Ada banyak rasa sesal dalam hatinya. Namun dia juga
merasa cemas dan takut akan mati.
“Ke mana anak-anakku? Kalau aku mati siapa yang akan
menguburkanku…” ia menangis lagi.
“Pergilah, Nak, tinggalkan aku di sini….” Pintanya.
Aku pun pergi sambil terus menoleh ke arahnya. Sungguh
mengenaskan nasibmu, ayah. Tanpa sadar aku kini menyebutnya sebagai ayah.
*
Beberapa bulan kemudian, walikota marah. Berita taman kota yang
kini dihuni lelaki itu menjadi headline di berbagai media massa. Mendadak dia
menggelar rapat koordinasi terbatas (Rakortas) dengan jajarannya.
“Buang dia…” perintah sang walikota.
“Siap, laksanakan…” kata sang asisten.
“Dia merusak citra kota.”
“Bisa jadi kita gagal raih adipura…”
Aku menyaksikan lelaki tua itu diciduk dimasukkan ke mobil
keamanan.
“Buang ke kota lain…”
“Siap, komandan…”
Dia bagaikan kerbau dicocok hidungnya dan benar-benar
merasakan hidupnya seperti sampah. Nau’dzubillahi min
dzalik.***
kota wali 141214, Garib Ganjar Santika, seorang pejalan
kaki, menyandang ransel dan menulis untuk hidup, hidup untuk menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar