Sabtu, 17 Januari 2015

Aku Ingin Taklukkan Dunia



"Pelajaran Mengarang" dari Gol A Gong 

Petualang yang dikisahkan dalam Balada si Roy, karya Gola Gong, benar-benar menyentuh sisi batinku. Aku tertantang untuk mengikuti jejaknya: menaklukkan dunia, lewat dunia mengarang. Gola Gong, salah satu motivator penting dalam diriku. Aku belajar mengarang, dari buku karya petualang sejati: Gola Gong.


Salah satu pengarang yang memotivasiku untuk memasuki dunia mengarang adalah Gol A Gong--dulu ditulis Gola Gong, aku mengenalnya dari Majalah Hai yang dimuat secara serial. Kalau tidak salah, usiaku saat itu 16 tahunan, kelas 2 SMAN 1 Majalengka. Serial Balada si Roy, bagiku benar-benar telah menjadi "buku pelajaran" mengarang. Setidaknya, buatku yang masih buta masalah Sastra.

Tak ada guru yang mengajarkan secara khusus kepadaku. Dari asyiknya membaca karya Gol A Gong, aku menemukan buah hidup, kisah pekerja keras, petualangan yang seru, pahit getir kehidupan, di samping sesuatu yang dapat menghibur batinku.

Ya, secara perlahan, kegiatan membaca mulai mempengaruhi kehidupanku.
"Aku kelak ingin seperti Gola Gong, berkeliling dunia, berpetualang, dan menulis tiada henti," seruku berapi-api dalam dadaku.

Untuk mengenal Gol A Gong, aku mencari-cari sumber referensi dari goggle dan kutemukan artikel yang memuat kisah hidup pengarang yang tangannya sempat diamputasi itu. Aku makin kagum, dia dengan satu tangan bisa menggenggam dunia, lewat karyanya.

Berikut info soal Gol A Gong untuk kita simak dan dijadikan bahan motivasi buat siapa pun yang tertantang memasuki dunia karang-mengarang.

PEMBACA novel Balada si Roy pasti tidak asing lagi dengan nama Gola Gong. Laki-laki bernama asli Heri Hendrayana Harris (40) tersebut memang pengarang novel yang dicetak lebih dari 100.000 kopi itu. Namun, bagi masyarakat Banten, Gola Gong bukan sekadar penulis yang telah menghasilkan sekitar 35 karya novel.DUA tahun belakangan, melalui komunitas yang diberi nama Rumah Dunia, ia membangun pusat belajar yang dirancang untuk mencetak generasi baru.

“Selama ini Banten lekat dengan stigma jawara, teluh, santet, pelet, dan hal-hal lain yang berkonotasi negatif. Kami ingin mengubah Banten, tetapi rasanya sangatlah tidak mungkin. Melalui rumah ini, kami ingin berbagi cinta dan ilmu kepada masyarakat,” tutur Gola Gong. 

Pusat belajar itu berlokasi di sekitar rumahnya di Kompleks Hegar Alam 40, Ciloang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, tidak jauh dari pintu tol Serang Timur.Berdiri di atas lahan seluas 1.000 meter persegi, Rumah Dunia mempunyai empat bangunan sederhana untuk perpustakaan anak-anak dan remaja, teater terbuka, dan tempat diskusi.

Mulai pertengahan bulan Maret 2004, dibuka toko buku bernama Kedai Buku Jawara.Di tempat itulah anak-anak berusia lima hingga belasan tahun terlihat membaca, mendongeng, menulis, menggambar hingga latihan teater. Semua kegiatan dikemas dalam bentuk wisata.Meskipun menyadari buah dari kerja kerasnya mungkin baru akan menunjukkan hasil 20 tahun lagi, dia sangat yakin kunci pembentukan generasi baru adalah membaca. 

“Kalau budaya membaca ini bisa diterapkan di seluruh rumah, bangsa ini akan cepat mencapai kemajuan. Pemimpin Banten harusnya memanfaatkan momentum (sebagai provinsi baru) untuk membikin gerakan ’Banten membaca’,” kata laki-laki kelahiran Purwakarta, 15 Agustus 1963, yang dibesarkan di Serang, Banten, itu.
BENIH gagasan Rumah Dunia mulai bersemi ketika ia dan beberapa rekannya kuliah di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung tahun 1982. 

“Saya dan kawan-kawan waktu itu bikin janji bahwa kalau ada yang lebih dulu berkemampuan, dialah yang harus mulai membikin perubahan itu,” tutur Gola Gong yang tidak menamatkan kuliahnya di Jurusan Sastra Indonesia Unpad dan memilih mengasah keterampilan dalam menulis.Kendati menolak disebut yang paling punya kemampuan finansial di antara rekan-rekannya, Gola Gong merasa terdorong untuk memulai. Apalagi, ia mempunyai modal berupa perpustakaan milik keluarganya.Embrio Rumah Dunia memang berawal dari perpustakaan keluarga. Harris Sumantapura, ayahnya yang pensiunan guru sekolah pendidikan guru (SPG), mempunyai banyak koleksi buku, majalah, dan bahan bacaan lainnya.

Ketika Gola Gong mulai membuka perpustakaan keluarga untuk masyarakat pada tahun 1990-an, pada saat bersamaan dia juga merintis penerbitan tabloid bulanan berbasis komunitas, yaitu Banten Pos (1993) dan Meridian (2000).Dua tabloid itu hanya bertahan enam bulan. “Saya diancam petugas dengan pistol di atas meja jika tidak menghentikan penerbitan tabloid,” ujar ayah dari Nabila Nurkhalisah (7), Gabriel Firmansyah (6), dan Jordi Al-Ghifari (2 bulan) itu.Semua itu tidak menghentikan langkahnya untuk terus menyalakan perubahan melalui gerakan baca-tulis. 

Pada bulan Maret 2002, perpustakaan yang sudah dibuka untuk umum sejak tahun 1990-an itu diberi nama Pustakaloka Rumah Dunia dengan singkatan PRD.Dia mengakui mendompleng akronim Partai Rakyat Demokratik (PRD). “Ternyata sangat dahsyat selling point (nilai jual)-nya walaupun gara-gara itu kami juga sempat dicap aktivis PRD betulan,” kata Gola Gong.

Bersama istrinya, Asih Purwaningtyas Hasanah atau lebih akrab disapa Tyas Tatanka, dan dibantu beberapa relawan lainnya, ia kelola PRD dengan menawarkan berbagai kegiatan “wisata”. Kemasan wisata pada setiap kegiatan PRD dimaksudkan agar kegiatan baca-tulis itu memikat anak-anak dan remaja.Ada wisata baca dan dongeng, wisata gambar, wisata tulis, dan ada juga wisata lakon. Hal itu dipilih agar kesan serius sebuah perpustakaan berganti dengan kesan ramah dan kuat aroma bermainnya.Awalnya, perpustakaan itu hanya berupa koleksi buku yang ditumpuk pada satu rak sepatu di sebuah kebun terbuka. 

Perlahan-lahan, bermula dari dibangunnya pendopo (selesai bulan Juli 2002), berdirilah satu per satu bangunan hingga kini sudah berjumlah empat lokal. Koleksi bukunya pun kini sudah mencapai 3.000-an judul.Mengingat kegiatannya belakangan ini merambah sastra, teater, rupa, dan jurnalistik, maka pada bulan Desember 2003 berganti nama menjadi Rumah Dunia. Tanggal 14 Februari 2004, Rumah Dunia diresmikan oleh Hj Cucu Munandar, istri Gubernur Banten, Djoko Munandar.MELALUI Rumah Dunia, Gola Gong juga melakukan semacam gerakan dekonstruksi kultural dengan memberi makna baru pada kosakata lokal yang mengandung makna pejoratif. 

Salah satu contohnya adalah kata “jawara”.Dengan menggunakan kata tersebut sebagai nama toko buku, Kedai Buku Jawara, ia mencoba agar stigma “jawara” yang sering identik dengan kekerasan dan pemerasan berubah makna menjadi “gudang ilmu”.“Saya ingin suatu ketika jika orang mencari kata ’jawara’ melalui Google (mesin pencari di internet), ia akan menemukan kata itu dengan arti ’gudangnya ilmu’. Kami ingin karakter wong Banten yang keras diperkaya dengan wawasan dan smart,” kata Gola Gong. 

Contoh lain dari proses dekonstruksi kultural itu adalah penamaan kegiatan dengan istilah seperti “gonjlengan wacana”, “tawuran seni”, dan lain-lain.Dalam konteks itu, kata “gonjlengan” yang semula hanya berarti kumpul-kumpul sambil makan ayam berubah menjadi diskusi seni, budaya, dan pendidikan yang hangat dibicarakan di media massa. Kata “tawuran” pun berubah makna menjadi pertemuan dua sekolah atau perguruan tinggi yang menampilkan pertunjukan sastra dan teater. Dari mana dana untuk semua itu? 

Gola Gong menjawab bahwa dana berasal dari sumbangan para donatur dan kawan-kawannya. Dia menyisihkan 2,5 persen dari penghasilannya sebagai tim kreatif stasiun televisi RCTI dan hasil penjualan hak cipta dua novelnya, yaitu Balada si Roy dan Padamu Aku Bersimpuh, yang dijadikan sinetron.“Kunci semua ini adalah ikhlas dan semangat berbagi dengan sesama. Langkah itu kami mulai dari lingkungan masyarakat di sekitar rumah, bukan dari menyodorkan proposal minta dana,” katanya. (garib/berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar