Sabtu, 31 Januari 2015

Akankah Keadilan Ditemukan?



Bebegig

Cerpen Garib Ganjar Santika



Sinar matahari terasa menyengat kepala. Letih badanku terasa kaku. Keringat membanjiri sekujur tubuh ini. Tapi, aku tak boleh mengeluh. Aku berusaha ikhlas. Sumpahku—atau lebih tepat nazarku, sejak aku tak dipercayai lagi sebagai orang jujur, aku rela menjadi bebegig.
Aku dikutuk jadi bebegig.

“Kalo begitu aku jadi bebegig saja. Berdiri dengan tegak, tak peduli panas mentari menyengat. Aku bantu petani di sawah mengusir burung, tikus, dan ular. Begitulah, keseharianku, seakan-akan aku bekerja bersama sang petani,” sumpahku tak bisa kutahan lagi.
Hahaha…Ada ada aja…Hahaha… Banyak orang menertawakanku. Banyak pula yang mengejekku, bahkan menghinaku. Tapi aku tak peduli.

“Kalo bernazar itu harus yang bagus-bagus, masa kamu menjadi bebegig?”
“Haha…makanya janganlah kamu bernazar semaunya…rasain kamu..rasain jadi bebegig yang sesungguhnya?”
“Tobatlah kau….kembalilah ke jalan yang benar..Tuhan pasti akan mengabulkan kembali permohonanmu..menjadi manusia lagi….”
Tak peduli orang ngomong apa. Aku sudah mewujud menjadi bebegig. Aku merasakan hidup ini lebih indah, lebih bermanfaat menjadi bebegig. Di sini, di sawah ini, aku sangat asyik bersama sang petani. Jauh dari rasa dengki, syirik, ria, dst. Pokoknya aku mending jadi bebegig. Titik.

**
Mang Ihin pagi itu sangat bahagia sekali. Dia baru saja belanja dari pasar dengan membawa pakaian serba baru. Masa Allah, ternyata dia mendandaniku dengan pakaian yang bagus-bagus. Lucunya, dia juga belikan topi dan kacamata hitam. Tak ketinggalan sepatu keren dipakaikannya ke kakiku. Amboi alangkah cakepnya aku…
“Cup cup cup….keren juga kau,” seru Mang Ihin.

Dia tampaknya terkesan dengan penampilanku. Aku tersipu malu. Hehe, emang gue cakep bro…
Mang Ihin mencoba menggerakkan tali yang menghubungkan dengan tubuhku. Dia menariknya dengan pelan dan menggerakkanku. Aku hidup. Aku bergerak. Melihat ke sekeliling. Angin yang datang dari kejauhan terasa dingin menyentuh tubuhku. Hohoy….asyiknya menjadi bebegig.
Seekor burung mendekat dan menatapku diam-diam. Burung itu malah tak takut. Mungkin dia juga penasaran, siapa sesungguhnya aku?

Mang Ihin sembari bernyanyi dengan riang terus menggerakkan tali-tali bebegig dengan santainya. Dia sangat bahagia. Hatinya sangat senang. Hingga dia tak menyadarinya, angin terus menghembuskan nafasnya yang dingin dan syahdu. Lelaki tua itu mengantuk…
Aku tersenyum kecut. Pagi ini aku sudah memberikan kenikmatan kepada seorang petani, yang setia setiap hari menjaga sawah. Mang Ihin pernah bilang kepadaku, sejak aku jadi bebegig dia merasakan hidup menjadi lebih berarti. Hidupnya terasa aman dan nyaman.

***
Kampungku geger. Pemilik bebegig Mang Ihin tiba-tiba banyak dicari orang. Gaga-gara mendandani aku layaknya manusia. Banyak juga warga kampung yang menilai, bahwa Mang Ihin sudah gila. Ada juga yang menilai, lelaki yang tak punya anak itu, suka bercakap-cakap dengan bebegig. Aneh bin ajaib, kata mereka.
Apa benar bebegig kepunyaan Mang Ihin bisa berdialog? Apa benar pula, bebegig suka berceramah saat tengah malam? Bahkan, Mang Ihin jadi sering menginap di sawah bersama bebegig. Ada pendapat yang lebih gila lagi, Mang Ihin sudah kawin dengan bebegig? Ada-ada saja pendapat orang.

“Kalau akang sudah tak cinta sama saya, ceraikan saja….” Celetuk Inah, istrinya Mang Ihin.
“Maksud kamu apa Inah?” Tanya Mang Ihin dengan dahi mengerut.
“Saya adalah istrimu yang sudah resmi dinikahi, masa tiap malam nginap terus di sawah dan selalu bercumbu dengan bebegig sawah?” Inah benar-benar marah.
“Apa maksudmu, akang semakin tak mengerti….”

Lebih tidak mengerti lagi, saat banyak wartawan mendatangi Mang Ihin. Jadinya dia mirip selebritis dadakan.
“Apa benar bebegig yang dipelihara Mang Ihin itu bisa hidup?” Tanya salah seorang pewarta yang datang ke kampung.
“Bisa dijelaskan Pak, bagaimana riwayatnya, dan apakah ada bukti-buktinya, bahwa bebegig itu bisa ngomong….bahkan ceramah….” Seru yang lainnya dengan semangat.

Mang Ihin diam seribu bahasa.
“Maaf bapak-bapak, eu, maaf semuanya…tidak usah diberitakan….” Mang Ihin ingin segera menghindar dari kejaran wartawan.
Justru dengan pernyataan dia kepada para kuli tinta itu, makin banyak orang penasaran. Dengan tidak usah diberitakan, sama halnya dengan ada pembenaran di balik peristiwa itu. Orang-orang makin penasaran, apa sebenarnya hubungan antara petani itu dengan bebegig sawah?

****

Pada suatu malam, bulan purnama tampak anggun. Mang Ihin duduk di saung sambil leleson. Dia kelihatan sangat cape. Pikirannya kalut. Terngiang-ngiang kata-kata istrinya Inah, yang memintanya cerai. Dia menerawang, tatapan matanya lurus dan kosong.

Hidup ini sudah kulalui dengan penuh kebohongan. Orang-orang saling berebut mencari kedudukan. Demi mendapatkan kekuasaan, banyak orang dikibuli. Kini, banyak orang lupa. Semua berbuat untuk mempertahankan dirinya sendiri, memperkaya dirinya sendiri. Mereka sudah rakus, sudah serakah. Bau busuk menyengat di udara. Batas antara baik dan buruk sudah tidak ada. Semuanya ingin menindas yang lemah. Yang kuat ingin menguasai segalanya.
Argh…..aaaa……

Di manakah keadilan itu? Siapa yang telah mencuri uang rakyat? Di manakah keadilan itu? Siapa yang sudah membunuh hak-hak rakyat? Kepada siapakah kita berlindung? Akankah keadilan itu akan ditemukan?

Mang Ihin terkesima. Diingatnya kata-kata itu dan dia bicara sendiri. Itulah, sepenggal kalimat yang sudah kuucapkan saat aku berdialog dengannya. 

“Jadi kamu sebetulnya pernah bekerja di mana?” Tanya Mang Ihin kepadaku.
“Aku pernah menjadi sebagai politikus, tapi aku juga ga bisa apa-apa saat bekerja,” elakku.
“Jadi kamu mengkhianati dirimu sendiri, toh?”
“Bukan aku korban politik,”
“Kamu tak melawan?”
“Aku pasrah…”
“Tapi mengapa kamu hidup memilih jadi bebegig?”
“Bebegig orangnya jujur. Gaya berdirinya tegak. Pandangannya lurus. Tidak pernah mengeluh. Setia dalam bertugas…”
“Emang kamu pernah ga jujur jadi manusia?”
“Iya….saya korupsi…”
“Musuh KPK dong?”
“Bukan musuh bebegig hehe….”

Itulah sebabnya, aku dikutuk oleh diriku sendiri menjadi bebegig. Sekarang kalian tahu kan, banyak orang yang mencuri, merampok, memperkosa, dan membunuh hanya untuk satu tujuan melanggengkan kekuasaan, memperbanyak materi, untuk dunia fana ini. Banyak orang lupa akan mati. Seakan-akan hidup akan selamanya. Seakan-akan harta dan jabatan akan dibawa ke alam kubur. 

Orang jujur saat ini sulit dicari. Yang ada sekarang ini adalah dazal bermata satu. Hatinya garang, nafasnya racun. Dia tamak. Rakus. Bejad moral. Biadab. Bengis. Jahanam.

Prok…prok….prok……tepuk tangan terasa membahana. Mang Ihin alangkah kagetnya. Warga kampung sudah menyaksikan adegan dialog antara sang petani dan sang bebebig. Aku tersipu malu, tak dinyana, orang-orang kampung sudah merencanakan semuanya. Nonton bareng. Aku memegang mikropon: saudara-saudara sekalian, bila kalian mengaku orang-orang jujur, ikutilah denganku menjadi bebegig. Dan bila kalian tidak jujur, tetaplah jadi manusia…

Majalengka 241014



.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar