Bebegig
Cerpen
Garib Ganjar Santika
Sinar matahari terasa menyengat kepala. Letih badanku terasa
kaku. Keringat membanjiri sekujur tubuh ini. Tapi, aku tak boleh mengeluh. Aku
berusaha ikhlas. Sumpahku—atau lebih tepat nazarku, sejak aku tak dipercayai lagi
sebagai orang jujur, aku rela menjadi bebegig.
Aku dikutuk jadi bebegig.
“Kalo begitu aku jadi bebegig saja. Berdiri dengan tegak,
tak peduli panas mentari menyengat. Aku bantu petani di sawah mengusir burung,
tikus, dan ular. Begitulah, keseharianku, seakan-akan aku bekerja bersama sang
petani,” sumpahku tak bisa kutahan lagi.
Hahaha…Ada ada aja…Hahaha… Banyak orang menertawakanku.
Banyak pula yang mengejekku, bahkan menghinaku. Tapi aku tak peduli.
“Kalo bernazar itu harus yang bagus-bagus, masa kamu menjadi
bebegig?”
“Haha…makanya janganlah kamu bernazar semaunya…rasain
kamu..rasain jadi bebegig yang sesungguhnya?”
“Tobatlah kau….kembalilah ke jalan yang benar..Tuhan pasti
akan mengabulkan kembali permohonanmu..menjadi manusia lagi….”
Tak peduli orang ngomong apa. Aku sudah mewujud menjadi
bebegig. Aku merasakan hidup ini lebih indah, lebih bermanfaat menjadi bebegig.
Di sini, di sawah ini, aku sangat asyik bersama sang petani. Jauh dari rasa
dengki, syirik, ria, dst. Pokoknya aku mending jadi bebegig. Titik.
**
Mang Ihin pagi itu sangat bahagia sekali. Dia baru saja
belanja dari pasar dengan membawa pakaian serba baru. Masa Allah, ternyata dia
mendandaniku dengan pakaian yang bagus-bagus. Lucunya, dia juga belikan topi
dan kacamata hitam. Tak ketinggalan sepatu keren dipakaikannya ke kakiku. Amboi
alangkah cakepnya aku…
“Cup cup cup….keren juga kau,” seru Mang Ihin.
Dia tampaknya terkesan dengan penampilanku. Aku tersipu
malu. Hehe, emang gue cakep bro…
Mang Ihin mencoba menggerakkan tali yang menghubungkan
dengan tubuhku. Dia menariknya dengan pelan dan menggerakkanku. Aku hidup. Aku
bergerak. Melihat ke sekeliling. Angin yang datang dari kejauhan terasa dingin
menyentuh tubuhku. Hohoy….asyiknya menjadi bebegig.
Seekor burung mendekat dan menatapku diam-diam. Burung itu
malah tak takut. Mungkin dia juga penasaran, siapa sesungguhnya aku?
Mang Ihin sembari bernyanyi dengan riang terus menggerakkan
tali-tali bebegig dengan santainya. Dia sangat bahagia. Hatinya sangat senang.
Hingga dia tak menyadarinya, angin terus menghembuskan nafasnya yang dingin dan
syahdu. Lelaki tua itu mengantuk…
Aku tersenyum kecut. Pagi ini aku sudah memberikan
kenikmatan kepada seorang petani, yang setia setiap hari menjaga sawah. Mang
Ihin pernah bilang kepadaku, sejak aku jadi bebegig dia merasakan hidup menjadi
lebih berarti. Hidupnya terasa aman dan nyaman.
***
Kampungku geger. Pemilik bebegig Mang Ihin tiba-tiba banyak
dicari orang. Gaga-gara mendandani aku layaknya manusia. Banyak juga warga kampung
yang menilai, bahwa Mang Ihin sudah gila. Ada juga yang menilai, lelaki yang
tak punya anak itu, suka bercakap-cakap dengan bebegig. Aneh bin ajaib, kata
mereka.
Apa benar bebegig kepunyaan Mang Ihin bisa berdialog? Apa
benar pula, bebegig suka berceramah saat tengah malam? Bahkan, Mang Ihin jadi
sering menginap di sawah bersama bebegig. Ada pendapat yang lebih gila lagi,
Mang Ihin sudah kawin dengan bebegig? Ada-ada saja pendapat orang.
“Kalau akang sudah tak cinta sama saya, ceraikan saja….”
Celetuk Inah, istrinya Mang Ihin.
“Maksud kamu apa Inah?” Tanya Mang Ihin dengan dahi
mengerut.
“Saya adalah istrimu yang sudah resmi dinikahi, masa tiap
malam nginap terus di sawah dan selalu bercumbu dengan bebegig sawah?” Inah
benar-benar marah.
“Apa maksudmu, akang semakin tak mengerti….”
Lebih tidak mengerti lagi, saat banyak wartawan mendatangi
Mang Ihin. Jadinya dia mirip selebritis dadakan.
“Apa benar bebegig yang dipelihara Mang Ihin itu bisa
hidup?” Tanya salah seorang pewarta yang datang ke kampung.
“Bisa dijelaskan Pak, bagaimana riwayatnya, dan apakah ada
bukti-buktinya, bahwa bebegig itu bisa ngomong….bahkan ceramah….” Seru yang
lainnya dengan semangat.
Mang Ihin diam seribu bahasa.
“Maaf bapak-bapak, eu, maaf semuanya…tidak usah
diberitakan….” Mang Ihin ingin segera menghindar dari kejaran wartawan.
Justru dengan pernyataan dia kepada para kuli tinta itu,
makin banyak orang penasaran. Dengan tidak usah diberitakan, sama halnya dengan
ada pembenaran di balik peristiwa itu. Orang-orang makin penasaran, apa
sebenarnya hubungan antara petani itu dengan bebegig sawah?
****
Pada suatu malam, bulan purnama tampak anggun. Mang Ihin
duduk di saung sambil leleson. Dia kelihatan sangat cape.
Pikirannya kalut. Terngiang-ngiang kata-kata istrinya Inah, yang memintanya
cerai. Dia menerawang, tatapan matanya lurus dan kosong.
Hidup ini sudah
kulalui dengan penuh kebohongan. Orang-orang saling berebut mencari kedudukan.
Demi mendapatkan kekuasaan, banyak orang dikibuli. Kini, banyak orang lupa.
Semua berbuat untuk mempertahankan dirinya sendiri, memperkaya dirinya sendiri.
Mereka sudah rakus, sudah serakah. Bau busuk menyengat di udara. Batas antara
baik dan buruk sudah tidak ada. Semuanya ingin menindas yang lemah. Yang kuat
ingin menguasai segalanya.
Argh…..aaaa……
Di manakah keadilan
itu? Siapa yang telah mencuri uang rakyat? Di manakah keadilan itu? Siapa yang
sudah membunuh hak-hak rakyat? Kepada siapakah kita berlindung? Akankah
keadilan itu akan ditemukan?
Mang Ihin terkesima. Diingatnya kata-kata itu dan dia bicara
sendiri. Itulah, sepenggal kalimat yang sudah kuucapkan saat aku berdialog
dengannya.
“Jadi kamu sebetulnya pernah bekerja di mana?” Tanya Mang
Ihin kepadaku.
“Aku pernah menjadi sebagai politikus, tapi aku juga ga bisa
apa-apa saat bekerja,” elakku.
“Jadi kamu mengkhianati dirimu sendiri, toh?”
“Bukan aku korban politik,”
“Kamu tak melawan?”
“Aku pasrah…”
“Tapi mengapa kamu hidup memilih jadi bebegig?”
“Bebegig orangnya jujur. Gaya berdirinya tegak. Pandangannya
lurus. Tidak pernah mengeluh. Setia dalam bertugas…”
“Emang kamu pernah ga jujur jadi manusia?”
“Iya….saya korupsi…”
“Musuh KPK dong?”
“Bukan musuh bebegig hehe….”
Itulah sebabnya, aku
dikutuk oleh diriku sendiri menjadi bebegig. Sekarang kalian tahu kan, banyak
orang yang mencuri, merampok, memperkosa, dan membunuh hanya untuk satu tujuan
melanggengkan kekuasaan, memperbanyak materi, untuk dunia fana ini. Banyak
orang lupa akan mati. Seakan-akan hidup akan selamanya. Seakan-akan harta dan
jabatan akan dibawa ke alam kubur.
Orang jujur saat ini
sulit dicari. Yang ada sekarang ini adalah dazal bermata satu. Hatinya garang,
nafasnya racun. Dia tamak. Rakus. Bejad moral. Biadab. Bengis. Jahanam.
Prok…prok….prok……tepuk tangan terasa membahana. Mang Ihin
alangkah kagetnya. Warga kampung sudah menyaksikan adegan dialog antara sang
petani dan sang bebebig. Aku tersipu malu, tak dinyana, orang-orang kampung
sudah merencanakan semuanya. Nonton bareng. Aku memegang mikropon:
saudara-saudara sekalian, bila kalian mengaku orang-orang jujur, ikutilah
denganku menjadi bebegig. Dan bila kalian tidak jujur, tetaplah jadi manusia…
Majalengka 241014
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar