Sabtu, 31 Januari 2015

Sang Penulis



PENULIS itu mencopot kedua tangannya dan membuangnya ke tempat sampah. Kedua tangannya menggelepar sebentar lantas diam seperti tangan orang pingsan.

Ia mencopot kedua tangannya begitu saja. Tidak dengan pisau dan semacamnya. Tak ada darah yang membuncah dan semacamnya. Tak ada luka yang menganga dan semacamnya. Ia memperlakukan tubuhnya seperti lego yang dapat dicopot dan dibuang semaunya.

Ada kegetiran yang begitu abstrak, yang tak bisa ia katakan, dan ia mengerti bahwa sejak dahulu kata-kata memang seperti itu: tidak pernah bisa diandalkan untuk menjelaskan segala hal. Kata-kata hanyalah sebuah usaha untuk mendekati kebenaran, tapi selalu berhenti di titik hampir. Ia mengerti sekali akan hal itu.

Ia sudah bertahun-tahun menjadi penulis. Setiap detik ia selalu bergumul dengan kata-kata yang tidak pernah setia: menemukannya, mendedahnya, membongkarnya, dan meragukannya. Itu sebabnya ia tidak tahu mesti berkata apa ketika menyaksikan kedua tangannya teronggok di tempat sampah. Seperti kesedihan tapi bukan itu, seperti kebahagiaan tapi itu pun masih kurang tepat. 

Entahlah. Ia hanya bisa diam, dan ia merasa betapa diam ternyata masih lebih baik dari segala macam kata yang pernah manusia temukan. Alasan mengapa ia membuang kedua tangannya ke tempat sampah cukup sederhana: ia tidak ingin menulis lagi.

Sebenarnya sudah lama sekali ia ingin berhenti menulis. Pena dan kertas telah ia buang, laptop-nya telah ia hibahkan kepada kekasihnya yang gemar berkata-kata kotor, dan buku-buku yang sekiranya dapat membangkitkan gairah menulis sudah ia bakar di halaman belakang dengan menggunakan beberapa batang korek api dan setengah liter minyak tanah. 

Tidak lupa, hampir setiap malam ia juga selalu memohon kepada Tuhan yang selama ini sering ia khianati, agar bakat menulisnya segera dicabut sampai ke akar-akarnya. Dan, hasilnya adalah setiap malam ia harus menderita sakit kepala.

Ia kesal karena seluruh usahanya selalu gagal. Ia masih tetap terus menulis. Ia menulis di pintu kulkas, di layar telepon genggam, di bak kamar mandi, di bantal, di cermin, di lipatan baju, di kalender, di meja makan, di sepatu, di kantung celana, di permukaan piring, dan di kaca jendela yang jarang sekali terbuka. 

Bahkan ketika sedang tertidur pun ia masih mampu menyelesaikan dua buah cerita pendek di selimut tebal tempat ia biasa bersembunyi dari dinginnya malam. Ia juga tidak tahu mengapa semua itu bisa terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia masih terus saja menulis. Karena bingung mesti berbuat apa lagi, sedangkan kegiatan menulisnya tidak juga kunjung berhenti, tanpa pikir panjang lagi ia langsung mencopot kedua tangannya untuk kemudian membuangnya ke tempat sampah.

Ia berhenti menulis karena ia merasa menulis adalah perbuatan yang percuma. Ia sudah menulis ribuan puisi, ratusan cerita pendek, dan puluhan novel. Belum lagi ditambah dengan beberapa artikel dan essai yang pernah dimuat di beberapa majalah dan surat kabar nasional. Banyak orang yang kemudian mengidolakannya, memborong semua karya-karyanya, bahkan ada yang sampai tergila-gila begitu rupa kepadanya. 

Ia memang hanya penulis, tapi popularitasnya sudah hampir sama dengan para selebritas. Setiap kali ia meluncurkan buku baru, berbagai jenis manusia dari berbagai jenis penjuru berbondong-bondong memadati ruangan acara itu. Semula ia memang jumawa dengan semua itu. Namun akhirnya ia sadar, bahwa ternyata semua itu adalah percuma.

Semua itu bermula dari pertanyaan sederhana yang terlontar dari mulut seorang gadis pada saat acara peluncuran bukunya sedang berlangsung, “Apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun?” Pertanyaan sederhana itu ia jawab dengan lancar.

“Menulis adalah semacam katarsis, yang dapat membebaskan kita dari kejumudan.” Ia juga mengatakan bahwa seorang penulis bukanlah nabi, yang diutus Tuhan untuk mengubah suatu kaum. “Tugas seorang penulis,” ujarnya melanjutkan, “bukanlah untuk mengubah keadaan, melainkan hanya ingin mengabarkan tentang segala hal yang sedang terjadi di depan mata kita secara apa adanya.”

Semua yang hadir dalam acara itu mengangguk-angguk, merasa takjub, untuk kemudian bertepuk tangan bersama-sama.

Tidak ada yang tahu bahwa sesampainya ia di rumah, ketika ingin beranjak tidur, pertanyaan itu masih terus membututinya: apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun? Keesokan harinya pertanyaan itu kembali terngiang di benaknya. Di hari-hari berikutnya pun demikian. Sampai akhirnya penulis itu lelah, dan mulai merasa gelisah.

Apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun?
Penulis itu gelisah bukan kepalang. Semula ia tidak peduli dengan pertanyaan sepele itu. Semula ia menganggap bahwa tugas seorang penulis ya hanya menulis saja.Titik. Tidak lebih dari itu. Tapi, entah kenapa, akhirnya ia sepakat bahwa ternyata dirinya adalah seorang penulis yang tiada berguna.
Ia sudah banyak menerbitkan buku, tapi ia sama sekali belum bisa mengubah apa pun. 

Sebenarnya ia juga tidak tahu apa yang mesti diubah, tapi ia sadar bahwa keadaan memang masih tetap begini-begini saja. Ia sering mengangkat tema tentang kemiskinan dalam setiap cerpen-cerpennya, tapi sampai sekarang kemiskinan itu masih ada dan tak pernah berubah. Ia sering mengangkat tema tentang kerusakan alam di setiap sajak-sajaknya, tapi sampai sekarang masih banyak saja orang-orang yang tidak peduli dengan alam, malah lebih parah dari sebelumnya. Ia juga sering mengangkat tema tentang kemunafikan manusia di setiap novel-novelnya, tapi hingga detik ini kemunafikan itu belum juga hilang.

Begitulah. Akhirnya penulis itu memutuskan untuk berhenti menulis dan membuang kedua tangannya ke tempat sampah.
“Selesai sudah,” gumam penulis itu sambil menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Lebih baik tidak usah menulis sama sekali, ujarnya dalam hati, dari pada menulis tapi tidak pernah dihiraukan sama sekali.
Tidak lama kemudian, penulis itu tertidur.

PENULIS itu terbangun dari tidurnya dan terkejut bukan main. Ia melihat dinding kamarnya sudah dipenuhi dengan tulisan. Begitu pula dengan lemari baju, permukaan piring, sepatu, sampai atap rumahnya pun telah dipenuhi tulisan. 

Ada yang berupa puisi, cerita pendek, seloka, gurindam, pantun, haiku, dan ada pula yang hanya berupa sekumpulan kata-kata yang tersusun secara acak tanpa bisa diketahui apa maknanya. Penulis itu kembali menderita sakit kepala.

Ia yakin betul bahwa semua tulisan itu adalah tulisannya. Bukan tulisan orang lain. Ia tidak tahu kalau pada akhirnya akan menjadi sesulit ini. Ia juga tidak tahu bagaimana ia bisa membuat tulisan-tulisan itu, padahal sepasang tangannya telah teronggok di tempat sampah. Mungkinkah ia menulis dengan kakinya? Atau mulutnya? Atau telinganya? Atau dengan pikirannya? Ia tidak tahu. Kepalanya benar-benar ingin pecah.

“Mengapa jadi sulit begini, padahal aku hanya ingin berhenti menulis? Ah, sepertinya lebih baik aku mati saja!” ujarnya sambil bangkit dari rebahnya, berjalan mendekati lemari pakaiannya yang tertutup, dan susah payah menarik pintu lemari itu dengan gigi depannya.

Di dalam lemari itu tampak sebuah pistol yang mengilat. Ia tersenyum. Ya, lebih baik aku mati saja, ujarnya dalam hati.

Namun seketika itu pula ia terdiam. Ia tidak tahu bagaimana cara menembakkan pistol ke dalam mulutnya. Sebab, ia baru ingat, kedua tangannya telah berada di dalam tempat sampah! (*)

Penulis: Noor H Dee. Pernah dimuat di Koran Tempo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar