PENULIS itu mencopot kedua tangannya dan membuangnya ke tempat
sampah. Kedua tangannya menggelepar sebentar lantas diam seperti tangan orang
pingsan.
Ia mencopot kedua tangannya
begitu saja. Tidak dengan pisau dan semacamnya. Tak ada darah yang membuncah
dan semacamnya. Tak ada luka yang menganga dan semacamnya. Ia memperlakukan
tubuhnya seperti lego yang dapat dicopot dan dibuang semaunya.
Ada kegetiran yang begitu
abstrak, yang tak bisa ia katakan, dan ia mengerti bahwa sejak dahulu kata-kata
memang seperti itu: tidak pernah bisa diandalkan untuk menjelaskan segala hal.
Kata-kata hanyalah sebuah usaha untuk mendekati kebenaran, tapi selalu berhenti
di titik hampir. Ia mengerti sekali akan hal itu.
Ia sudah bertahun-tahun menjadi
penulis. Setiap detik ia selalu bergumul dengan kata-kata yang tidak pernah
setia: menemukannya, mendedahnya, membongkarnya, dan meragukannya. Itu sebabnya
ia tidak tahu mesti berkata apa ketika menyaksikan kedua tangannya teronggok di
tempat sampah. Seperti kesedihan tapi bukan itu, seperti kebahagiaan tapi itu
pun masih kurang tepat.
Entahlah. Ia hanya bisa diam, dan ia merasa betapa diam
ternyata masih lebih baik dari segala macam kata yang pernah manusia temukan. Alasan
mengapa ia membuang kedua tangannya ke tempat sampah cukup sederhana: ia tidak
ingin menulis lagi.
Sebenarnya sudah lama sekali ia
ingin berhenti menulis. Pena dan kertas telah ia buang, laptop-nya telah
ia hibahkan kepada kekasihnya yang gemar berkata-kata kotor, dan buku-buku yang
sekiranya dapat membangkitkan gairah menulis sudah ia bakar di halaman belakang
dengan menggunakan beberapa batang korek api dan setengah liter minyak tanah.
Tidak lupa, hampir setiap malam ia juga selalu memohon kepada Tuhan yang selama
ini sering ia khianati, agar bakat menulisnya segera dicabut sampai ke
akar-akarnya. Dan, hasilnya adalah setiap malam ia harus menderita sakit
kepala.
Ia kesal karena seluruh usahanya
selalu gagal. Ia masih tetap terus menulis. Ia menulis di pintu kulkas, di
layar telepon genggam, di bak kamar mandi, di bantal, di cermin, di lipatan
baju, di kalender, di meja makan, di sepatu, di kantung celana, di permukaan
piring, dan di kaca jendela yang jarang sekali terbuka.
Bahkan ketika sedang
tertidur pun ia masih mampu menyelesaikan dua buah cerita pendek di selimut
tebal tempat ia biasa bersembunyi dari dinginnya malam. Ia juga tidak tahu
mengapa semua itu bisa terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia masih terus saja
menulis. Karena bingung mesti berbuat apa lagi, sedangkan kegiatan menulisnya
tidak juga kunjung berhenti, tanpa pikir panjang lagi ia langsung mencopot
kedua tangannya untuk kemudian membuangnya ke tempat sampah.
Ia berhenti menulis karena ia merasa
menulis adalah perbuatan yang percuma. Ia sudah menulis ribuan puisi, ratusan
cerita pendek, dan puluhan novel. Belum lagi ditambah dengan beberapa artikel
dan essai yang pernah dimuat di beberapa majalah dan surat kabar nasional.
Banyak orang yang kemudian mengidolakannya, memborong semua karya-karyanya,
bahkan ada yang sampai tergila-gila begitu rupa kepadanya.
Ia memang hanya
penulis, tapi popularitasnya sudah hampir sama dengan para selebritas. Setiap
kali ia meluncurkan buku baru, berbagai jenis manusia dari berbagai jenis
penjuru berbondong-bondong memadati ruangan acara itu. Semula ia memang jumawa
dengan semua itu. Namun akhirnya ia sadar, bahwa ternyata semua itu adalah
percuma.
Semua itu bermula dari pertanyaan
sederhana yang terlontar dari mulut seorang gadis pada saat acara peluncuran
bukunya sedang berlangsung, “Apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu
mengubah apa pun?” Pertanyaan sederhana itu ia jawab dengan lancar.
“Menulis adalah semacam katarsis,
yang dapat membebaskan kita dari kejumudan.” Ia juga mengatakan bahwa seorang
penulis bukanlah nabi, yang diutus Tuhan untuk mengubah suatu kaum. “Tugas
seorang penulis,” ujarnya melanjutkan, “bukanlah untuk mengubah keadaan,
melainkan hanya ingin mengabarkan tentang segala hal yang sedang terjadi di
depan mata kita secara apa adanya.”
Semua yang hadir dalam acara itu
mengangguk-angguk, merasa takjub, untuk kemudian bertepuk tangan bersama-sama.
Tidak ada yang tahu bahwa
sesampainya ia di rumah, ketika ingin beranjak tidur, pertanyaan itu masih
terus membututinya: apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu
mengubah apa pun? Keesokan harinya pertanyaan itu kembali terngiang di
benaknya. Di hari-hari berikutnya pun demikian. Sampai akhirnya penulis itu
lelah, dan mulai merasa gelisah.
Apa artinya menulis jika tulisan
kita tidak mampu mengubah apa pun?
Penulis itu gelisah bukan kepalang.
Semula ia tidak peduli dengan pertanyaan sepele itu. Semula ia menganggap bahwa
tugas seorang penulis ya hanya menulis saja.Titik. Tidak lebih dari itu. Tapi,
entah kenapa, akhirnya ia sepakat bahwa ternyata dirinya adalah seorang penulis
yang tiada berguna.
Ia sudah banyak menerbitkan buku,
tapi ia sama sekali belum bisa mengubah apa pun.
Sebenarnya ia juga tidak tahu
apa yang mesti diubah, tapi ia sadar bahwa keadaan memang masih tetap begini-begini
saja. Ia sering mengangkat tema tentang kemiskinan dalam setiap
cerpen-cerpennya, tapi sampai sekarang kemiskinan itu masih ada dan tak pernah
berubah. Ia sering mengangkat tema tentang kerusakan alam di setiap
sajak-sajaknya, tapi sampai sekarang masih banyak saja orang-orang yang tidak
peduli dengan alam, malah lebih parah dari sebelumnya. Ia juga sering
mengangkat tema tentang kemunafikan manusia di setiap novel-novelnya, tapi
hingga detik ini kemunafikan itu belum juga hilang.
Begitulah. Akhirnya penulis itu
memutuskan untuk berhenti menulis dan membuang kedua tangannya ke tempat
sampah.
“Selesai sudah,” gumam penulis itu
sambil menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Lebih baik tidak usah menulis sama
sekali, ujarnya dalam hati, dari pada menulis tapi tidak pernah dihiraukan sama
sekali.
Tidak lama kemudian, penulis itu
tertidur.
PENULIS itu terbangun dari tidurnya dan terkejut bukan main. Ia
melihat dinding kamarnya sudah dipenuhi dengan tulisan. Begitu pula dengan
lemari baju, permukaan piring, sepatu, sampai atap rumahnya pun telah dipenuhi
tulisan.
Ada yang berupa puisi, cerita pendek, seloka, gurindam, pantun, haiku,
dan ada pula yang hanya berupa sekumpulan kata-kata yang tersusun secara acak
tanpa bisa diketahui apa maknanya. Penulis itu kembali menderita sakit kepala.
Ia yakin betul bahwa semua tulisan itu adalah tulisannya. Bukan tulisan orang
lain. Ia tidak tahu kalau pada akhirnya akan menjadi sesulit ini. Ia juga tidak
tahu bagaimana ia bisa membuat tulisan-tulisan itu, padahal sepasang tangannya
telah teronggok di tempat sampah. Mungkinkah ia menulis dengan kakinya? Atau
mulutnya? Atau telinganya? Atau dengan pikirannya? Ia tidak tahu. Kepalanya
benar-benar ingin pecah.
“Mengapa jadi sulit begini, padahal
aku hanya ingin berhenti menulis? Ah, sepertinya lebih baik aku mati saja!”
ujarnya sambil bangkit dari rebahnya, berjalan mendekati lemari pakaiannya yang
tertutup, dan susah payah menarik pintu lemari itu dengan gigi depannya.
Di dalam lemari itu tampak sebuah
pistol yang mengilat. Ia tersenyum. Ya, lebih baik aku mati saja, ujarnya dalam
hati.
Namun seketika itu pula ia terdiam.
Ia tidak tahu bagaimana cara menembakkan pistol ke dalam mulutnya. Sebab, ia
baru ingat, kedua tangannya telah berada di dalam tempat sampah! (*)
Penulis: Noor H Dee. Pernah dimuat di Koran
Tempo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar