"Kran" Kreativitas Mengalir Deras
Banyak orang ingin jadi pengarang, tetapi sangat sedikit
yang memahami apa makna dari mengarang dan “kepengarangan”.
Mengapa banyak
orang ingin (atau bercita-cita) menjadi seorang pengarang?
Apa yang menjadi
daya tarik seseorang untuk menulis dan memilih jalan hidup dari pengarang?
Untuk apakah sebenarnya hidup dari mengarang dan apakah bisa hidup dari
mengarang ? Lalu, manfaat apakah dari aktivis mengarang tersebut? Dan, apa arti
mengarang untuk hidup dan hidup dari mengarang?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sempat mengganggu saya—yang
sudah memilih jalan hidup dari mengarang.
Mengapa aku dikutuk sebagai
pengarang? Apakah karena bakat? Apakah
karena keinginan (want)?. Apakah juga karena kebutuhan (need)? Dan, kenapa
harus jadi pengarang?
Selepas berkuliah di Universitas Padjadjaran (Unpad) Fakultas
Sastra Jurusan Editing pada 1994, aku putuskan untuk hidup dari mengarang. Entah
mengapa, ketika rekan-rekan seangkatanku memilih menjadi copy editor atau
editor di sebuah penerbitan buku—aku malah merasa “tak nyaman” untuk “duduk” dan bekerja penuh dalam sebuah kantor atau
perusahaan penerbitan.
“Aku ingin menjadi pengarang,” seru hatiku
menerjang-nerjang. Dalam niatku begitu kuat, kutanam dalam-dalam dan semangat membara di
dada ini.
Aku ingin menaklukkan pilihanku: dunia mengarang. Siapa sesungguhnya yang
sudah mempengaruh hidup menjadi seorang pengarang? Apakah cita-citaku akan
tercapai? Sampai kapan aku bisa mencapainya? Bisalah aku hidup dari mengarang? Begitulah,
di dalam hatiku seakan perang batin.
“Berhentilah menjadi seorang pengarang dan kerjalah yang
lain saja yang benar-benar bisa menjamin hidupmu.”
“Aku tak mau menyerah… Aku yakin, suatu saat nanti cita-citaku
itu akan tercapai, tunggulah, waktu akan menjawabnya…”
Aku diberondong berbagai pertanyaan yang mengganggu otakku.
“Kalau ingin jadi jutawan, janganlah jadi pengarang…”
“Ingat usiamu tak kau cukup untuk mengejar targetmu.”
“Berhentilah mengarang kau tak punya bakat.”
“Diam, jangan ganggu aku. Aku sedang asyik-masyuk mengarang.
Apa pedulimu,”
“Tidak adakah cara lain selain menjadi pengarang? Apa pengaruhmu
untuk hidupmu dan orang lain….”
Tak tik tak tik… anak
muda itu tengah khusuk mengembangkan idenya. Dalam otaknya dipenuhi rangkaian
kata-kata yang harus dikeluarkan. Kata-kata
yang bermakna menjadi teks, lalu teks-teks tersebut beralifiasi membentuk
kalimat. Dia sangat akrab dengan huruf, angka, kata, kalimat, paragrap,
kemudian dia memprosesnya menjadi puisi, cerpen, esai, novel, naskah buku,
syair, dll..
Motivasinya sangat kuat hinigga tak ada yang bisa
menghalangi langkahnya; pilihan hidupnya.
“Siapa saja yang sudah memotivasi kamu menjadi pengarang?”
Sewaktu SMP, aku keranjingan membaca majalah remaja seperti
HAi dan Gadis. Majalah itulah yang sudah menjadi “guru” dan ruang untuk
berkarya. Dari seringnya aku membaca, aku jadi kenal siapa ittu Hilman
Hariwijaya yang menciptakan “Lupus”. Dari
serial cerita bersambung, aku juga mengenal siapa itu Gola Gong. Kisah
petualangannya melalui Balada si Roy—dan kemudian menjadi buku—sudah
mengajarkanku untuk menyikapi hidup dengan semangat, yakin, tidak pernah
menyerah, dan berpetualang.
“Aku ingin seperti Gola Gong yang bisa menaklukkan dunia,”
seru hatiku saat memasuki masa SMA.
“Aku ingin jadi pengarang, Ayah,” cetusku di depan
Ayah—dialah yang sudah menginspirasi menjadi pengarang dan penulis. Ayahku menjadi
koresponden untuk penerbitan buku-buku Iwan Gayo. Selain itu, ayahku juga
sering menulis artikel berbahasa Indonesia dan Sunda. Ayahku adalah guruku yang
tiada henti memberikan motivasi dan cara kerja menjadi pengarang ataupun
penulis.
“Kau harus banyak membaca,” begitu katanya.
Entah mengapa, aku jadi mengikuti jejak ayah. Ayahku sudah
menunjukkan cara mengetik dan mengiriman karangan ke media, dan ayahku
juga—sering mengajakku berpetualang ke alam bebas untuk menulis.
Darinya aku juga mengenal bagaimana mengumpulkan bahan-bahan
tulisan dari wawancara, dan menyusunnya menjadi karangan siap saji. Ayahku
adalah motivator jalan hidupku menjadi pengarang.
“Bawalah kalau kau ingin hidup dari mengarang,” katanya
sambil menunjukkan “mesin tik” yang biasa dipakainya.
Aku sangat gembira. Mesin ketik, nama benda ini adalah saksi
sejarah hidupku, yang menghantarkan segudang ide dan kutuangkan lewat tulisan.
Aku punya kebanggaan tersendiri dengan mesin tik ini, maklum saat itu komputer
masih terasa asing bagiku.
“Kalau ingin jadi pengarang, kau harus seperti Ayip Rosidi,”
tantang ayahku. Ya, Ayip Rosidi, salah satu sastrawan terkemuka Indonesia dan
dunia, yang berasal dari Jatiwangi, Kabupaten Majalengka ini, menjadi motivator
kepengarangan. Bahkan, secara khusus ayahku dengan komunitasnya “Patra Buana”
selalu mengkaji dan mengapresiasi karya-karyanya.
Sewaktu kuliah di Bandung—dan kemudian ke Jatinangor,
Sumedang, aku terus menjajal kemampuan menulisku. Di kamar kos, suara tak tik
tak tik, mengiringi aktivitas mengarangku. Pesan ayahku banyaklah membaca,
terus kujaga. Aku harus lahap akan bacaan. Jadilah aku kutu buku, bookaholic.
Di kampusku,
dosen-dosenku yang suka menulis makin memotivasiku, dialah Wilson Nadeak, Dadi
Pakar, Kusman K Mahmud, Sofia Mansur. Secara rutin aku juga mengirimkan karyaku
ke berbagai Koran atau majalah di Bandung dan Jakarta. Begitulah penaku terus
kuasah.
Dalam waktu senggang, aku juga suka memburu buku-buku murah
dan menarik. Aku kagum pada dosenku Wilson Nadeak, yang bukunya segudang itu,
telah mendorongku untuk giat mencari buku dan sumber referensi. Dialah yang
sudah mengajarkan bagaimana membuat “buku”.
Keinginan yang kuat menjadi pengarang membuat aku juga
memburu buku-buku pelajaran mengarang. Mengarang itu Gampang, begitu kata Arswendo
Atmowiloto, dalam bukunya yang kudapatkan dari Gramedia. Aku juga membaca
Mengatasi Hambatan untuk Mengarang, karya dosenku Wilson Nadeak. Selain itu,
aku juga menyimak dan membaca dengan dalam proses kreatif para sastrawan
Indonesia yang dieditori Pamusuk Eneste melalui buku Proses Kreatif: Mengapa
dan Bagaimana Saya Mengarang.Aku menyimak pendapat Gerson Poyk yang mengatakan
proses kreatif itu suatu proses yang mulai kelihatan sejak kecil, sejak
kesedaran pertama. Pengalaman dan bakat menjadi kunci yang memegang peranan
penting dalam proses tadi. Pengalaman akan bertambah sebanding dengan usia, dan
bakat pun akan terus berkembang jika kita berada di lingkungan yang ikut andil
mendukung pertumbuhan kreativitas.
Selain membaca buku proses kreatif, aku juga menyukai dan
banyak mengoleksi buku-buku sastra seperti kumpulan puisi, cerpen, dan novel.
Melalui puisi aku mengenal siapa itu Rendra, Chairil Anwar, Emha Ainun Nadjib, Joko
Pinurbo, dst. Untuk menambah pengalaman batin, aku juga menyukai cerita pendek
(Cerpen). Akibat kegilaanku membaca cerpen, aku jadi mengenal siapa itu Seno
Gumira Ajidarma, Danarto, Putu Wijaya, Beni Setia, dst. Di samping itu, aku
juga acapkali mencari novel-novel yang menggugah hatiku. Tak heran, aku juga
melahap novel Ahmad Tohari, Motinggo Busye.
Keasyikan membaca dan menulis, membuat irama hidup terasa
berdenyut. Aku merasakan bagaimana hidup ini terasa berarti. Akan sayang, jika
punya pengalaman batin tidak disalurkan melalui “kran” kreativitas?
Pengarang-pengarang besar sudah menjadi motivator utama agar saluran kran tadi
tetap mengalir deras.
Aku terpukau dan berasyik-masyuk dengan kreativitas
baca-tulis, sehingga otakku pun terus diuji dan digerakkan. Latihan dan terus
latihan. Berkarya dan terus berkarya. (catatan garib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar