Sabtu, 31 Januari 2015

Di Mana Sesungguhnya Ayahku?



Kenapa Kau Buang Aku di Sini, Nak?

Cerpen Garib Ganjar Santika

Lelaki berambut gimbal, dengan baju compang-camping, dekil, dan baunya minta ampun—yang biasa tiduran di taman kotaku itu menyita perhatianku. Beberapa hari ini, aku sering berolahraga—cuma jalan kaki dan senam ringan, tanpa sengaja sering kulihat lelaki itu, suka senyam-senyum dan tertawa sendiri. Entah menertawakan apa.

Banyak orang—dan aku juga menyangka dia sebagai orang gila. Tingkahnya aneh, namun tidak menakutkan karena dia tidak pernah menyakiti orang-orang yang lewat. Tapi, kata banyak orang dia gila. Isyarat itu sering kudapatkan dari tukang kebun, yang setiap pagi membersihkan sampah-sampah yang berceceran di taman.

“Dia gila,” kata Mumu sambil menyilangkan telunjuknya di jidatnya.
“Dia orang buangan, kayak sampah, ditaro di situ, di sudut taman kota itu,” terang Mela, pedagang kupat tahu yang biasa mangkal di sana.

“Ya, lelaki itu, entah dari mana asalnya. Yang jelas, kini lelaki itu jadi penghuni setia taman kota ini,” tambah Medi, pedagang kopi dan rokok, seakan ikut menjelaskan.
“Saya sering lihat dia suka tertawa sendiri, kadang diam lama sekali. Kerjanya cuma tidur melulu. Tapi dia tak pernah ganggu orang yang lewat..” jelas Mela bersemangat.

Aku mengerutkan kening. Benarkah lelaki itu sengaja dibuang? Benarkah lelaki itu tidak gila? Kalau benar depresi kenapa tidak dititipkan saja ke pesantren atau kalau benar gila kenapa tidak dimasukkan saja ke rumah sakit jiwa?

Ya, aku sendiri sering melihat dia—setiap pagi aku suka mengelilingi taman kota dan melihat lelaki itu dengan santainya tiduran di atas taman. Dia suka bercakap sendiri dan tertawa sendiri. Dalam beberapa hari ini, sering kuamati dan aku menyangka dia pasti orang gila baru.
Kata Mela lagi, bahwa lelaki yang kuanggap gila itu, ternyata tidak gila. “Dia stres, frustasi, karena yang sudah membuang dia itu adalah anak kandungnya sendiri…”

“Dia jiwanya hancur…Dia sengaja dibuang, karena mungkin anak istrinya juga sudah tak sanggup mengurusnya,” timpah Medi.
“Dia bapak tua yang malang…”

Masya Allah. Aku kaget. Di saat aku merindukan figur seorang ayah, di saat aku membutuhkan semangat hidup dari bapakku, di sini, di taman ini, malah kusaksikan seorang ayah yang dibuang…

Malang benar nasibmu, ayah… Andaikata ayahku masih ada, tentu tindakanku tak akan seperti itu. Ayah akan aku tempatkan di rumah yang layak… Aku akan berjuang memberikan sesuatu yang paling berharga ini, khusus untuk ayah… Andaikata ayahku masih ada, dan hadir di sini, tentu aku akan bahagia.. Aku rindu padamu ayah…

“Kenapa kamu menangis….” Bu Mela mengagetkanku.
“Oh, tidak, aku hanya rindu ayah, Bu…”
“Memangnya ke mana ayahmu, Nak?”
“Ayahku sudah berpulang, di saat aku masih membutuhkan sosok ayahku…” tak kuat aku menahan air mata ini,”Ayahku menyusul ibuku yang duluan meninggal.”
“Oh, maaf, saya jadi menyinggungmu, Nak.”

“Tidak mengapa,” rupanya aku tak kuat menahan derasnya air mataku.
Lelaki itu, sudah menginspirasi aku untuk mengingat ayah. Betapa berdosanya aku. Aku belum bisa membalas budi baikmu, ayah…

“Aku pamit dulu, Bu,” kataku cepat sambil meninggalkan taman kota itu. Ku berjalan sendiri, dengan ransel di pundakku. Dengan gontai, aku susuri trotoar dan mengutuki nasibku. 

Betapa sangat menyesalnya aku. Saat ayah sakit, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku anak yang durhaka. Apa sesungguhnya yang kucari dalam kehidupanku ini? Mengapa ayah dan juga ibu sudah berpulang, di saat aku belum jadi apa-apa? 

Aku sudah berjalan dari kota ke kota. Entah, sudah berapa gunung juga kudaki. Aku sudah melakukan perjalanan yang sudah menghabiskan waktuku. Tapi, aku sebenarnya mencari apa? Aku lunglai…
Wajah lelaki tua itu kembali mendatangi alam pikiranku. Rambut gimbal, kerutan pipinya, pakaian yang semrawutan, dan matanya yang menerawang, terus membayangiku. Aku gelisah siang dan malam. Kini aku jadi rindu pada lelaki itu—setidaknya untuk mengingat sosok ayah.

Terdengar sebuah lagu ayah mengalun dalam mata batinku. Di mana, akan kucari…/Aku menangis, seorang diri/Hatiku, slalu ingin bertemu/Untukmu, aku bernyanyi/Untuk ayah tercinta/Aku ingin bernyanyi/Walau air mata di pipiku….

*

Pada hari yang lain, dengan perlahan, aku mendekati lelaki misterius itu—yang kusangka gila dan dibuang anaknya itu.
“Aku tidak gila, aku waras…” Lelaki itu tiba-tiba menatapku. Tak sadar di saat kucari-cari dia, lelaki itu sudah di belakangku.
“Jangan buang aku di sini, Nak,” katanya.
Aku masih tidak percaya bahwa lelaki itu tidaklah gila.
“Jangan lihat dari fisiknya saja, tapi kau lihat ke dalam lubuk hati,” serunya lagi.
Andaikata ayahku masih hidup, mungkin usianya akan seperti lelaki itu.
Aku gugup dan hanya diam.

“Andaikata kau anakku, tentu kau tak akan buang aku di sini kan?” Tanyanya berkerut ke arahku lagi.
Lelaki itu memeluk tubuhku. Sangat kuat. Aku menahan baunya yang minta ampun. Lagi-lagi lelaki itu memelukku dengan erat dan menangis.
“Aku rindu anakku,” ucapnya.
“Aku juga rindu ayah,” balasku lirih.

Aku tak peduli—kendati ini bukan ayahku, tapi setidaknya aku merasakan kehangatan dan ketulusannya. Bertahun-tahun, aku tak menemukan sosok ayah, yang sudah kubanggakan dalam hidupku.
“Jabatan itu neraka. Jabatan itu musibah. Sekarang aku menderita anak-anakku membuangku di sini.”
Ia mengaku sangat tersiksa hingga kini anak-anaknya tak mau mengakui lagi sebagai bapak. Semasa muda dia adalah seorang pejabat yang terhormat. Kariernya melesat cepat. Kepercayaan dan amanah yang disandangnya menjadi kekuasaan yang langgeng. Hingga ia terpeleset akibat tangan jahilnya—sering menyunat dana bantuan untuk masyarakat. “Aku dituduh korupsi akhirnya aku terjatuh…” sesalnya.

Dia melanjutkan, setelah diketahui publik, akhirnya stres dan stroke…. Dia jadi bulan-bulanan media. Wartawan yang dulu memuji kinerjanya berbalik arah malah memberitakan segala boroknya, bahkan hingga tahinya pun terus dikupas. “Aku sakit…dan orang-orang yang dulu mengagungkanku makin jauh meninggalkanku…”

Ia juga bercerita semasa muda dikenal ketampanannya dan banyak perempuan lengket padanya. “Aku playboy. Aku banyak uang, perempuan makin nempel kayak perangko…”
Dia menambahkan,  sebagai seorang pembisnis uang dan kekuasaan adalah segalanya.
“Aku beli semua wanita dengan uang. Aku memiliki segalanya…”

Hingga ia tak sadar setelah jabatan dan kekuasaannya habis, ia ditendang istri dan pacar-pacarnya, bahkan anak-anaknya pun. “Hingga aku dibuang ke sini…Ha…ha…” Teriaknya.
Lelaki itu bagaikan mengenang kisah lalunya, nostalgia hingga nostalgila…Pahit getir kehidupan. Tapi sekarang dia adalah seorang pesakitan. Tatapan matanya lurus ke depan tapi kosong. Sorotnya tajam tapi tidak focus melihat apa. Ada banyak rasa sesal dalam hatinya. Namun dia juga merasa cemas dan takut akan mati.

“Ke mana anak-anakku? Kalau aku mati siapa yang akan menguburkanku…” ia menangis lagi.
“Pergilah, Nak, tinggalkan aku di sini….” Pintanya.
Aku pun pergi sambil terus menoleh ke arahnya. Sungguh mengenaskan nasibmu, ayah. Tanpa sadar aku kini menyebutnya sebagai ayah.

*

Beberapa bulan kemudian, walikota marah. Berita taman kota yang kini dihuni lelaki itu menjadi headline di berbagai media massa. Mendadak dia menggelar rapat koordinasi terbatas (Rakortas) dengan jajarannya.
“Buang dia…” perintah sang walikota.
“Siap, laksanakan…” kata sang asisten.
“Dia merusak citra kota.”
“Bisa jadi kita gagal raih adipura…”
Aku menyaksikan lelaki tua itu diciduk dimasukkan ke mobil keamanan.
“Buang ke kota lain…”
“Siap, komandan…”
Dia bagaikan kerbau dicocok hidungnya dan benar-benar merasakan hidupnya seperti sampah. Nau’dzubillahi min dzalik.***

kota wali 141214, Garib Ganjar Santika, seorang pejalan kaki, menyandang ransel dan menulis untuk hidup, hidup untuk menulis.

Akankah Keadilan Ditemukan?



Bebegig

Cerpen Garib Ganjar Santika



Sinar matahari terasa menyengat kepala. Letih badanku terasa kaku. Keringat membanjiri sekujur tubuh ini. Tapi, aku tak boleh mengeluh. Aku berusaha ikhlas. Sumpahku—atau lebih tepat nazarku, sejak aku tak dipercayai lagi sebagai orang jujur, aku rela menjadi bebegig.
Aku dikutuk jadi bebegig.

“Kalo begitu aku jadi bebegig saja. Berdiri dengan tegak, tak peduli panas mentari menyengat. Aku bantu petani di sawah mengusir burung, tikus, dan ular. Begitulah, keseharianku, seakan-akan aku bekerja bersama sang petani,” sumpahku tak bisa kutahan lagi.
Hahaha…Ada ada aja…Hahaha… Banyak orang menertawakanku. Banyak pula yang mengejekku, bahkan menghinaku. Tapi aku tak peduli.

“Kalo bernazar itu harus yang bagus-bagus, masa kamu menjadi bebegig?”
“Haha…makanya janganlah kamu bernazar semaunya…rasain kamu..rasain jadi bebegig yang sesungguhnya?”
“Tobatlah kau….kembalilah ke jalan yang benar..Tuhan pasti akan mengabulkan kembali permohonanmu..menjadi manusia lagi….”
Tak peduli orang ngomong apa. Aku sudah mewujud menjadi bebegig. Aku merasakan hidup ini lebih indah, lebih bermanfaat menjadi bebegig. Di sini, di sawah ini, aku sangat asyik bersama sang petani. Jauh dari rasa dengki, syirik, ria, dst. Pokoknya aku mending jadi bebegig. Titik.

**
Mang Ihin pagi itu sangat bahagia sekali. Dia baru saja belanja dari pasar dengan membawa pakaian serba baru. Masa Allah, ternyata dia mendandaniku dengan pakaian yang bagus-bagus. Lucunya, dia juga belikan topi dan kacamata hitam. Tak ketinggalan sepatu keren dipakaikannya ke kakiku. Amboi alangkah cakepnya aku…
“Cup cup cup….keren juga kau,” seru Mang Ihin.

Dia tampaknya terkesan dengan penampilanku. Aku tersipu malu. Hehe, emang gue cakep bro…
Mang Ihin mencoba menggerakkan tali yang menghubungkan dengan tubuhku. Dia menariknya dengan pelan dan menggerakkanku. Aku hidup. Aku bergerak. Melihat ke sekeliling. Angin yang datang dari kejauhan terasa dingin menyentuh tubuhku. Hohoy….asyiknya menjadi bebegig.
Seekor burung mendekat dan menatapku diam-diam. Burung itu malah tak takut. Mungkin dia juga penasaran, siapa sesungguhnya aku?

Mang Ihin sembari bernyanyi dengan riang terus menggerakkan tali-tali bebegig dengan santainya. Dia sangat bahagia. Hatinya sangat senang. Hingga dia tak menyadarinya, angin terus menghembuskan nafasnya yang dingin dan syahdu. Lelaki tua itu mengantuk…
Aku tersenyum kecut. Pagi ini aku sudah memberikan kenikmatan kepada seorang petani, yang setia setiap hari menjaga sawah. Mang Ihin pernah bilang kepadaku, sejak aku jadi bebegig dia merasakan hidup menjadi lebih berarti. Hidupnya terasa aman dan nyaman.

***
Kampungku geger. Pemilik bebegig Mang Ihin tiba-tiba banyak dicari orang. Gaga-gara mendandani aku layaknya manusia. Banyak juga warga kampung yang menilai, bahwa Mang Ihin sudah gila. Ada juga yang menilai, lelaki yang tak punya anak itu, suka bercakap-cakap dengan bebegig. Aneh bin ajaib, kata mereka.
Apa benar bebegig kepunyaan Mang Ihin bisa berdialog? Apa benar pula, bebegig suka berceramah saat tengah malam? Bahkan, Mang Ihin jadi sering menginap di sawah bersama bebegig. Ada pendapat yang lebih gila lagi, Mang Ihin sudah kawin dengan bebegig? Ada-ada saja pendapat orang.

“Kalau akang sudah tak cinta sama saya, ceraikan saja….” Celetuk Inah, istrinya Mang Ihin.
“Maksud kamu apa Inah?” Tanya Mang Ihin dengan dahi mengerut.
“Saya adalah istrimu yang sudah resmi dinikahi, masa tiap malam nginap terus di sawah dan selalu bercumbu dengan bebegig sawah?” Inah benar-benar marah.
“Apa maksudmu, akang semakin tak mengerti….”

Lebih tidak mengerti lagi, saat banyak wartawan mendatangi Mang Ihin. Jadinya dia mirip selebritis dadakan.
“Apa benar bebegig yang dipelihara Mang Ihin itu bisa hidup?” Tanya salah seorang pewarta yang datang ke kampung.
“Bisa dijelaskan Pak, bagaimana riwayatnya, dan apakah ada bukti-buktinya, bahwa bebegig itu bisa ngomong….bahkan ceramah….” Seru yang lainnya dengan semangat.

Mang Ihin diam seribu bahasa.
“Maaf bapak-bapak, eu, maaf semuanya…tidak usah diberitakan….” Mang Ihin ingin segera menghindar dari kejaran wartawan.
Justru dengan pernyataan dia kepada para kuli tinta itu, makin banyak orang penasaran. Dengan tidak usah diberitakan, sama halnya dengan ada pembenaran di balik peristiwa itu. Orang-orang makin penasaran, apa sebenarnya hubungan antara petani itu dengan bebegig sawah?

****

Pada suatu malam, bulan purnama tampak anggun. Mang Ihin duduk di saung sambil leleson. Dia kelihatan sangat cape. Pikirannya kalut. Terngiang-ngiang kata-kata istrinya Inah, yang memintanya cerai. Dia menerawang, tatapan matanya lurus dan kosong.

Hidup ini sudah kulalui dengan penuh kebohongan. Orang-orang saling berebut mencari kedudukan. Demi mendapatkan kekuasaan, banyak orang dikibuli. Kini, banyak orang lupa. Semua berbuat untuk mempertahankan dirinya sendiri, memperkaya dirinya sendiri. Mereka sudah rakus, sudah serakah. Bau busuk menyengat di udara. Batas antara baik dan buruk sudah tidak ada. Semuanya ingin menindas yang lemah. Yang kuat ingin menguasai segalanya.
Argh…..aaaa……

Di manakah keadilan itu? Siapa yang telah mencuri uang rakyat? Di manakah keadilan itu? Siapa yang sudah membunuh hak-hak rakyat? Kepada siapakah kita berlindung? Akankah keadilan itu akan ditemukan?

Mang Ihin terkesima. Diingatnya kata-kata itu dan dia bicara sendiri. Itulah, sepenggal kalimat yang sudah kuucapkan saat aku berdialog dengannya. 

“Jadi kamu sebetulnya pernah bekerja di mana?” Tanya Mang Ihin kepadaku.
“Aku pernah menjadi sebagai politikus, tapi aku juga ga bisa apa-apa saat bekerja,” elakku.
“Jadi kamu mengkhianati dirimu sendiri, toh?”
“Bukan aku korban politik,”
“Kamu tak melawan?”
“Aku pasrah…”
“Tapi mengapa kamu hidup memilih jadi bebegig?”
“Bebegig orangnya jujur. Gaya berdirinya tegak. Pandangannya lurus. Tidak pernah mengeluh. Setia dalam bertugas…”
“Emang kamu pernah ga jujur jadi manusia?”
“Iya….saya korupsi…”
“Musuh KPK dong?”
“Bukan musuh bebegig hehe….”

Itulah sebabnya, aku dikutuk oleh diriku sendiri menjadi bebegig. Sekarang kalian tahu kan, banyak orang yang mencuri, merampok, memperkosa, dan membunuh hanya untuk satu tujuan melanggengkan kekuasaan, memperbanyak materi, untuk dunia fana ini. Banyak orang lupa akan mati. Seakan-akan hidup akan selamanya. Seakan-akan harta dan jabatan akan dibawa ke alam kubur. 

Orang jujur saat ini sulit dicari. Yang ada sekarang ini adalah dazal bermata satu. Hatinya garang, nafasnya racun. Dia tamak. Rakus. Bejad moral. Biadab. Bengis. Jahanam.

Prok…prok….prok……tepuk tangan terasa membahana. Mang Ihin alangkah kagetnya. Warga kampung sudah menyaksikan adegan dialog antara sang petani dan sang bebebig. Aku tersipu malu, tak dinyana, orang-orang kampung sudah merencanakan semuanya. Nonton bareng. Aku memegang mikropon: saudara-saudara sekalian, bila kalian mengaku orang-orang jujur, ikutilah denganku menjadi bebegig. Dan bila kalian tidak jujur, tetaplah jadi manusia…

Majalengka 241014



.

Wajah Kota yang Menyebalkan



Cerpen Garib Ganjar Santika

Aku benci kemiskinan. Kotaku sangat menjijikkan. Di setiap sudut kota, aku temukan kaum nestapa mulai pengamen, peminta-minta di tepi jalan hingga lampu merah. Di sudut-sudut kota itu juga aku lihat perkampungan kumuh sangat bau dan menyebalkan. Udara pagi seakan penuh dengan kotoran. Seperti sampah yang baunya minta ampun.

Lelaki 50-an itu mengemudikan sedannya dengan kecepatan rendah sambil bercakap sendiri dan mengamati sekeliling. Dia berkata, mengapa banyak orang miskin, mengapa pula banyak orang lapar. Mereka merengek minta dikasihani, ada juga yang minta diperhatikan dan diberi makanan. Mereka jumlahnya banyak. Tumplek. Siapa yang sudah menciptakan kemiskinan?

Pagi yang seharusnya indah, malah kusaksikan seorang bapak dengan wajah bopeng penuh luka, tubuhnya dibalut perban. Dia mirip suster ngesot, menggeser-geserkan tubuhnya di jalan raya. Dia menengadahkan tangannya dan meronta-ronta.

“Kasihanilah aku, belum makan…” keluh si tua itu.
Saat lampu merah itulah, segerombolan tuna daksa itu bagaikan mendapatkan berkah. Ada yang menghampiri mobil dan mengelap kaca asal-asalan. Ada yang memainkan kecrekan—suaranya berisik sekali—maklum alat musik asal-asal itu terbuat dari bekas tutup teh botol yang disatukan. Ada pula yang – astagfirullah—menggendong seorang bayi. Si ibu, yang kelihatan tua—tapi  usianya masih muda—dengan tertatih-tatih menghampiri setiap kendaraan sambil meminta-minta. “Tolonglah…pa bu…anak saya belum dapat makan sejak kemarin….” Rengeknya.

Adegan yang penuh dengan dramatis itu menjadi potret keseharian kaum jalanan. Kotor, menjijikan, dan minta dikasihani—menjadi suasana yang menyebalkan dan membosankan. Negeri ini katanya kaya, dengan potensi alam yang melimpah ruah. Katanya, negeri ini juga kaya, dengan ladang minyak dan gas yang merebak di sepanjang Nusantara. Katanya, negeri ini juga kaya raya, dengan segudang emas yang terus dieksporasi. Katanya, begitu, katanya, negeri yang subur dan makmur loh jinawi…

“Aku benci kemiskinan,,,” kata lelaki dengan kemeja putih itu sambil meludah—persisnya meludahi mereka kaum pinggiran yang sangat memuakkan.

Dia hentikan mobilnya sejenak. Sambil menggerutu dia tancap gas hingga asapnya mengepul ke udara. “Kemiskinan pergilah….jauhkan dariku…..” katanya sambil marah.
Orang-orang melihatnya. “Busyet dah…bukannya ngasih uang malah ngasih asap kotor…dasar orang kaya…” Celetuk seorang pengamen.

“Kalian harus keluar dari kemiskinan ini. Tak seharusnya kalian di sini, di jalan ini…” dia keluar mobil dan mengampiri mereka.
“Hey, siapa kamu, seenaknya ngomong begitu?” Seorang lelaki kekar mirip jeger jalanan tiba-tiba mendekatinya.

Lelaki itu dirubung banyak orang. “Maksud kamu apa, menghina kami ya…?” Seorang pemuda tanggung  dengan tato di lengannya itu menarik bajunya. “Kamu mau apa? Siapa kamu. Orang lain ga pernah ada yang menyentuh kami bahkan ngomong seenak dewek…” Si kerempeng itu pun marah.
Kaum jalanan makin banyak merubung. Kompak. Mereka sudah melingkarinya.
“Aku butuh makan….” Teriak salah satu anak asongan persis di depan telinganya.
“Habisi aja dia, wong seenaknya aja kalo ngomong…Ayo kita habisin dia…” Seorang preman lainnya mencoba mengompori.
“Jangan….” Seorang Ibu yang tadi menggendong bayi tiba-tiba menghentikan aksi.
Suasana diam.
“Kami di sini memang bukan siapa-siapa. Kami sangat miskin. Tapi kami tak meminta menjadi pengemis, menjadi peminta-minta. Kami hanya butuh hidup. Haus dan lapar sudah biasa kami menjalaninya… Maaf pa, tadi bapak bilang harus keluar dari kemiskinan? Apa maksud bapak…?” Rupanya si ibu itu tertarik juga dengan kata-kata dia.

Haha…Lelaki  misterius itu tak sadar tertawa.
“Heh monyong malah ketawa….Apa maksud harus keluar dari kemiskinan???” Si kekar tadi makin tertarik juga.
Kemiskinan sesungguhnya tanggungjawab siapa? Setiap pesta demokrasi, rakyat sudah memilih pemimpin, setiap 5 tahun sekali, rakyat pun sudah memilih wakil-wakil rakyat. Tapi, tak ada seorang pun yang bisa mengatasi kemiskinan. Ke mana orang-orang berkuasa, ke mana mereka yang kaya raya? Ke mana pula, mereka yang punya kebijakan?

“Mulai sekarang, kalian harus menikmati jadi orang kaya baru. Nih, ambil bagi rata. Awas jangan berebutan….” Dia lempar segepok uang. Mirip saweran. Ya, memang dia menyawer uang dengan percuma. Dia lempar ke udara, dan uang pun berhamburan.
Hahaha….Ayo, ambil dan habiskan…

Para tuna daksa itu bukan main senangnya. Mereka berebutan. Saling sikut dan saling tendang demi mendapatkan uang. “Ini buatku…awas ini punyaku….” Seru di antara mereka.
“Aduh, kamu injak kakiku, hey awas aku bagi….Kamu jangan serakah….aku minta….”
Seru. Mereka mabuk uang.

“Selamat tinggal kemiskinan. Kalian boleh beli apa aja semaumu. Habiskan uangnya…” Katanya sambil dengan perlahan melajukan mobilku.

Mereka rupanya tak mendengarkan. Saking sibuknya mengumpulkan uang yang tercecer. Pagi yang indah aku sangat bahagia sekali bisa berbagi dengan mereka, gumam dia.
“Untuk apa aku bekerja keras hanya untuk mengumpulkan uang, menumpuk harta, tapi di sekelilingku adalah orang-orang papa,” dia terus berkata-kata.
Di perempatan, lelaki asing yang sudah membuat kejutan bagi kaum okem itu, berbelok ke kanan.

*
Pecak bukan main girangnya. ABG yang satu ini mendapatkan uang Rp5 Juta dari sawaren si bapak yang misterius itu. Dia lari ke rumahnya, di kolong jembatan, tempat bapa dan ibunya beristirahat dan tidur.
“Hore, Bu… Bapa…mana??? Aku dapat uang banyak. Ayo kita belanja. Kita habiskan uang ini….” Teriak Pecak, si ABG yang matanya cacat satu itu.

Bukan main kagetnya. Icah, Ibunya, meraba satu demi satu uang yang dibawa anak kesayangannya itu. Dia tak percaya. Semalam pun dia tak merasa bermimpi.
“Benar Bu, itu uang beneran, ayo kita belanja bu. Pecak pengen beli baju, sepatu, dan makanan yang enak-enak. Ayo, bu kita habiskan…” Pecak teramat bahagia.
Icah masih tak percaya. Dia pingsan.

“Bu, kenapa Bu,… ini uang asli Bu….Kata bapak itu uang ini harus dihabiskan.. Bu…” Pecak berusaha membangunkan ibunya.
Begitu pula dengan kaum pinggiran yang lainnya. Semuanya tak percaya. Masa di pagi hari saat memulai mengemis, tiba-tiba ada orang turun dari mobil mewah dan dengan mudahnya memberikan puluhan juta. Uang yang dilemparkan begitu saja.

 “Gue tak percaya sungguh. Ada hujan uang…” Si kerempeng bertato yang biasa dipanggil Malang nyerocos.

“Sama gue juga ga percaya, tapi saat kutampar pipiku dengan keras, ini bukan mimpi. Ini adalah anugerah terindah buatku, bahkan buat kita. Sudah lama, aku berharap ada orang baik turun dari langit. Bukankah, sangat jarang ada orang baik di sini….?” Celetuk Pincang, si remaja yang suka mengamen itu.
“Ya, betul ini jelas anugerah terindah. Tuhan kirimkan wali, melalui bapak yang baik hati itu, untuk memberikan uang bagi kita-kita. Saya percaya Tuhan sekarang, malam kemarin, saya berdoa. Oh Tuhan kirimkan rejeki kepada kami. Kalo Tuhan benar-benar ada buktikan dan kirimlah uang kepada kami. Tuhan, memang Maha Mendengar, betul tidak?” Rupanya Buntung pun tak mau kalah dengan temannya.
Mereka terus saja bersenda gurau dan saling bercerita satu sama yang lainnya, sambil memikirkan siapa sesungguhnya lelaki itu—atau bapak yang baik hati itu??? Tuhan, masih adakah orang baik di muka bumi ini?
**


Lelaki misterius yang disebut-sebut sebagai bapak yang baik itu, kini menjadi perbincangan hangat. Bukan saja bagi kalangan orang pinggiran, atau kaum okem dan sejenisnya. Ternyata, lelaki superbaik itu, melakukan aksi blusukan ke sudut kota, ke tempat-tempat kumuh, kotor, dan bau. Dia terus memberikan uang dengan cuma-cuma. Dia terus melakukan saweran sambil berkata: aku benci kemiskinan. Itu sudah jadi kredo.
“Negeri ini kaya, masa rakyatnya jelata,” kata lelaki itu saat memberikan uang kepada anak-anak jalanan.
Anak-anak jalanan yang polos dan lugu itu menyaksikan bagaimana lelaki itu berceramah, bahkan dia juga sepertinya melakukan orasi politik—seperti yang dilakukan para caleg saat berkampanye, atau cabup, cawalkot, cagub hingga capres.

“Yang kaya makin sombong, yang miskin makin terjerumus. Yang kuasa makin digdaya, yang lemah makin kalah. Kalian adalah anak-anak kehidupan, tak seharusnya hidup di jalanan. Kalian tak layak hidup dalam kesengsaraan. Kalian harus diberdayakan…..” pidato lelaki asing itu makin menjadi-jadi.
Begitulah, setiap hari lelaki itu menyambangi rumah-rumah penduduk, menyapa warga dan bersilaturahmi sambil terus berbagi. Dia juga sering menginap di rumah penduduk. Tak jarang dia juga menyelinap ke lokasi pelacuran dan memberinya banyak uang kepada para WTS sambil berkata: aku benci kemiskinan, maka kalian jangan mau dibayar murah meriah. Naikkan tarifmu? Mahalkan hargamu?
Siapa sesungguhnya lelaki tersebut? Dia tak mau diekspos baik di Koran maupun di TV. Banyak orang jadinya terkesan dengan aksi misteriusnya itu. Tak sedikit banyak orang pula, menilai bahwa dia layak menjadi pemimpin di negeri ini. Dia sudah menyadarkan banyak orang untuk hidup saling menolong. Saling berbagi.
“Sebelum mati, aku harus berbuat kebajikan. Uang bagiku bukan segalanya…Aku tak mau kuburanku sempit gara-gara aku pelit…” lelaki itu mengakhiri kuliahnya di salah satu kampung—yang konon dia datang karena diundang warga kampung.
***

Lelaki asing dan misterius itu menyerahkan diri kepada KPK.
“Gantung aku di Monas….” Sedikit pun dia tak ragu.
Wartawan bagaikan nyamuk yang terus berdenging dengan gesitnya mewawancarainya. Baik Koran dan TV terus memberitakan lelaki itu yang rela mati. Dia mengaku korupsi Rp7 Triliun. Dia malu dan tak ingin melihat ada generasi koruptor yang tunggang langgang di negeri ini.

Kota Angin 24-10-14

Sang Pencuri Hati



Cerpen Garib Ganjar Santika

Di kota ini hidup harus sebagai pemberani. Dengan berani berarti harus menanggung resikonya, baik atau buruk. Setiap hari, siapa pun selalu berhubungan dengan urusan antara hidup dan mati. Dan kalo tak berani, matilah aku…

Seorang ibu rumah tangga tengah berbelanja di sebuah swalayan. Dia sedang asik mencari bahan-bahan pokok untuk  keperluan hidup sehari-hari. Dengan gesitnya dia memasukkan barang belanjaannya ke dalam keranjang.

Dari kejauhan, ada seseorang tengah mengamati gerak-gerik si ibu tadi. Matanya tertuju pada sepeda motor yang diparkir di halaman swalayan. “Inilah, makananku,” gumam Hero.

Sejurus kemudian, Hero dengan tenangnya mencuri vario milik Wati, yang tengah sibuk berbelanja. Siang itu menjadi saksi bagaimana kehebatan Hero dengan secepat kilat mencuri vario. Tak ada yang tahu aksi jahatnya. Bahkan, tak ada orang yang curiga. Siang yang panas itu semua orang sangat sibuk dengan dirinya sendiri.

“Mantap,” seru Hero sambil membawa pergi vario.

Usai berbelanja Wati alangkah kagetnya saat vario kesayangannya raib digondol maling. “Tolllongng…!!!!” Seru dia dengan kerasnya.

Perempuan 40-an itu hampir pingsan karena sangat terpukul. “Oh,,saya tak percaya…siapa yang mencuri varioku?” Tanyanya kepada orang-orang di sekitar swalayan. 

“Apakah ada yang lihat siapa yang telah mencuri motorku?” Wati membelalakkan matanya.

Orang-orang malah acuh tak perduli. “Makanya kalo parkir jangan sembarang, Bu…” seru seorang pejalan kaki.

“Lagian, Ibu ga ngasi tahu ke tukang parkir biar dijagain. Di sini setiap hari selalu ada pencurian, Bu..” kata yang lainnya.

Wati hanya bisa diam seribu bahasa. Dia limbung jatuh pingsan.

*
Hero senang bukan main, hari ini eksekusi sepeda motor sudah dilakukannya. Pelanggan yang telah memesannya tampak bangga dengan permintaan barang yang sesuai dengan keinginannya. “Makasih ya, kau hebat…dengan sekejap kau datangkan keinginanku. Nih, kau ambil Rp4 juta…buatmu,” kata Yani salah satu pelanggannya yang sudah memesan 2 hari yang lalu.

“Oke..makasih juga, saya mau cabut lagi, pemesan yang lain sudah menunggu,” tegas Hero buru-buru.
Dia bergegas. Kota yang garang telah menciptakan rasa berani menyalak-nyalak bagaikan auman anjing gila. Kota yang panas dan gerah telah menciptakan hati yang amarah dan tak pernah takut. Hero makin menjadi-jadi. 

Baginya mencuri adalah pekerjaan sehari-hari yang sudah dijalaninya sejak masa remaja. Kini setelah memiliki anak-istri, dia hidupi keluarga dari hasil mencuri. Mencuri apa saja. Sesuai pemesan.
Hero memang pencuri setia. Dia akui bukan karena terpaksa melakukan pencurian, tetapi juga karena kebutuhan yang tak bisa dia tawar lagi. Untuk mempertahankan hidupnya.

“Di kota ini hidup harus sebagai pemberani. Dengan berani berarti harus menanggung resikonya, baik atau buruk. Setiap hari, siapa pun selalu berhubungan dengan urusan antara hidup dan mati. Dan kalo tak berani, matilah aku…,” gumam dia.

**

“Oke Pa siap, avansa warna hitam ya. Besok aku kirim ke alamat bapak….” Hero kembali dapat pesanan. Kali ini dia harus menyuplai barang curian lagi. Avansa warna hitam. Dia berpikir sejenak. Siapa lagi korbanku, katanya.

Malam yang pekat. Lelaki itu bertopeng dengan memakai sarung tangan. Langkahnya sangat hati-hati memasuki sebuah kawasan permukiman. Dia mengamati ke sekeliling. Setelah dirasa aman, si pencuri itu menaiki pagar dan hap…dia masuki rumah. Di sana sebuah avansa yang dia maksud sudah siap dieksekusi.
Setiap mencuri, dia selalu menghadapi tantangan demi tantangan. 

Dengan pengalamannya yang lihai itu Hero beraksi. Dengan peralatan yang cukup dia putuskan kunci pagar dan pintu mobil pun bisa dibuka. Sejurus kemudian, dia hidupkan mesin dan secepat kilat dia bawa kabur avansa pesanan tersebut.

Malam yang hitam jadi saksi lagi bagaimana kehebatan Hero mengeksekusi setiap pesanan. Rumah Maryono gempar. Ramai oleh teriakan maling…Seisi rumah pun berhamburan ke garasi. “Siapa yang maling…? Siapa pencurinya..???”

Maryono sungguh tak percaya melihat mobil kesayangannya raib. “Bapak sih, malah memecat Satpam yang biasa jagai mobil… Bapak sih…lupa naro pengaman di mobil…” istrinya malah memarahi dia.
Ke mana pencuri itu? Ke mana mobilku, seru Maryono lagi.

Esoknya, halaman surat kabar dipenuhi oleh pencuri misterius yang akhir-akhir ini selalu nekad beraksi. Kendati siang buta atau malam buta. Bahkan, saat di sebuah keramaian pun pencurian selalu ada di depan mata. Polisi sibuk mencari jejak pelaku.

Hero merasa punya ancaman sekarang. Menurut berita di Koran, siapa yang bisa menangkap pelaku akan dikasih hadiah besar dan akan diangkat menjadi pahlawan kota. Media massa ramai mengiklankannya. Sementara para korban pencurian baik TV, motor, mobil, dll, ramai mendatangi kantor polisi. Hidup mereka tak tenang dan tak merasa nyaman karena banyak pencurian. Mereka mengancam jika pelaku itu ditangkap harus dibakar hidup-hidup.

Hero bergidik. Semua mata seolah tertuju padanya. Bagaimana nanti nasib anak-istriku, bagaimana pula bila anak dan istriku tahu bahwa sesungguhnya aku adalah seorang pencuri? Bagaimanakah bila aku ditangkap dan dibakar hidup-hidup? Bagaimana pula, aku mengakhiri kisah hidupku ini?

Dia bertanya sendiri. Matanya terus melotot menyaksikan berita TV yang tiada henti menyiarkan aksi pencurian yang marak itu.

“Kenapa aku malah jadi penakut sekarang ini? Bukankah jika aku takut aku tak akan hidup lagi. Tidak, aku bukanlah penakut,” dia mengigau dan panik.
Hero merasa pusing dan merasa asing terhadap dirinya.

***

Hati-hatilah bila Anda pulang kerja malam, terutama bagi wanita. Nasib nahas harus dialami Sinta. Mahasiswi cantik yang tengah menyusun skripsi itu ditemukan tewas tergeletak sendirian di gang sempit menuju kamar kosnya. Darah membajiri sekujur tubuhnya. Dugaan sementara wanita berkulit putih itu menjadi korban pemerkosaan. Polisi memberikan garis polisi di sekitar TKP. Wartawan dari berbagai media berdatangan. Kota B jadi mencekam.

Hero dengan santainya menyimak berita di TV dan Koran yang tiada henti menyiarkan aksi pencurian hingga pemerkosaan dan pembunuhan yang mewarnai isu terkini. Walikota B mengadakan rapat dengan seluruh kepala bagian dan jajarannya. Polisi bersiaga dan melakukan investigasi secara maraton. Bahkan, para dukun pun, dan orang pintar pun ditanya. Siapakah sesungguhnya pelaku yang sudah makan banyak korban itu? Atau adakah dalang di balik semua kejadian itu?

Hati Sinta sudah dicuri. Hasil penyelidikan akhir, ditemukan ada seseorang sengaja membunuh Sinta dengan kejam. Tidak ada perkosaan. Hanya saja, seseorang telah mencuri hatinya dengan cara membelah dadanya. Tidak ada yang hilang baik perhiasan ataupun barang lain utuh. Hanya hati. Ya tepatnya hanya jantung hati…
Orang-orang ramai menggunjingkan nasib Sinta yang tewas dengan percuma oleh seseorang yang membutuhkan sepasang jantung hati. Untuk apa sebenarnya si pencuri hati itu dengan teganya membunuh si cantik itu? Mengapa harus itu yang diambil, bukankah dia memiliki perhiasan dan dompet dengan banyak uang? Dan mengapa pula si pencuri tersebut dengan kejinya membunuh Sinta?

Sinta adalah mahasiswi tingkat akhir yang tengah menulis skripsi bertema kerawanan sosial akibat kesenjangan sosial, lengkap dengan analisisnya. Apakah si pencuri itu adalah pelaku yang ramai diberitakan? Orang-orang jadi pusing memikirkan nasib Sinta dan malah mengutuk kenapa pula malam-malam selalu pulang sendirian? Tahukah Anda Kota B itu adalah neraka! Dasar wanita tak tahu diri malah masuk gang sempit dan pake pakaian seksi, ya jadi menantang gitu loh, jadi merangsang begicu… Ah, ngapain mikirin korban Sinta, toh aku belum dapat makan pagi ini…peduli amat, seru yang lain menimpali.
“Sinta, oh, kau anakku, harus mati dengan percuma,” isak Ningsih, ibunya Sinta.

“Oh Sinta, kau adalah bunga terakhir yang pernah kumiliki, mengapa kau cepat pergi,” seru Akbar sang pacar Sinta.

***
Reynaldi duduk gelisah. Dia berjalan ke sana kemari di kamarnya. Sesekali dia lihat ke jendela. Apakah pesananku akan datang tepat waktu? Apakah akan sesuai dengan pesananku? Pagi yang indah udara yang sejuk. Matahari tampak bercahaya dengan gemilang.

Pemuda 17 tahun itu makin gelisah. Hingga dia tak sadar ada seseorang yang mengetuk pintu.
Tok tok tok…Pagi…Asalamualaikum…

Tak ada jawaban. Seseorang telah meletakkannya begitu saja di depan pintu. Sebuah kado dibungkus rapi dan memakai rangkaian bunga indah. Ada secarik kertas di dalamnya bertuliskan: pesananmu sudah siap saji…sepasang hati jantung… salam..ttd..Hero.


Garib 24-10-14