Siapa yang telah
mengutukku menjadi seorang pengarang?
Kata-kata berkelebatan dalam otakku, huruf-huruf mengalir
deras dari lubang telinga, hidung, hingga dubur. Kalimat-kalimat merangkai
penuh sesak dalam nadiku. Lalu, mereka bersatu bersetubuh sampai orgasmenya
memuncak. Jadilah, peristiwa yang bernas, yang mengucur deras bersama keringat
dari sekujur tubuh.
“Aku lagi mabuk, asyik masyuk,” seru jiwaku penuh enerjik.
“Haha…haha…kukutuk kau jadi pengarang, maka jadilah….” Suara
itu terdengar nyaring. Kucari-cari asal suara itu, tapi nihil. Aku tak
menemukan siapa-siapa.
Aku menggebu-gebu. Asap rokok memenuhi sebuah ruangan kecil.
Pekat. Seseorang tengah mengambil
rokok, menghisapnya dalam-dalam, dalam
hitungan detik, kembali asap mengepul. “Mengapa kau ikuti aku terus, dalam
benakku, kau masuk memaksaku, lambat laun kau menyelinap dalam ragaku. Hingga
kutak sadar kau sudah menahun dalam sukmaku,” serunya lagi sambil menyeruput
secangkir kopi.
Wajah Arswendo Atmowiloto dengan senyuman yang lebar
tiba-tiba mendekatiku. Dari balik jendela kamarku, muncul Seno Gumira Aji Darma
melambaikan tangannya.
Aku melongok. Siapa di luar?
Di situ sudah ada Beni Setia, Ajip Rosidi, Wilson Nadeak,
Putu Wijaya, AA Navis, Umar Kayam, Gerson Poyk…. Ada apa mereka, diam-diam, mendatangiku?
Aku, kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang kan merayu,
tidak juga kau…siapa ini lagi si binatang jalang tiba-tiba menampakkan diri.
Buku-buku telah kumakan, kukunyah hingga lembut sekali. Kata-kata mereka
kusikat habis, perutku yang lapar sudah kenyang kini.
“Haha…kena juga kau, kau sudah kukutuk menjadi seorang
pengarang….” Telingaku makin kencang berdenging.
Aku tak mengenali lagi siapa sesungguhnya aku kini. Hendak
ke mana kah aku melangkah? Apakah ke utara atau selatan, barat dan timur? Ke
dasar laut, atau ke puncak gunung?
Dari mana sesungguhnya aku, dan akan berhenti di mana aku?
“Aku mencintaimu, dan karenanya aku terus menjaga dan
mengikutimu ke mana pun akan pergi,”
“Kenapa kau ikuti aku terus?”
“Aku diutus untuk menjagamu, membimbingmu,”
“Pergi, aku ingin sendirian,”
“Kau belum mampu, karena itu aku sengaja terus
membuntutimu,”
“Diamlah…”
Aku diam. Tepekur di malam sunyi. Merenung.
Aku saksikan banyak orang berlari tunggang langgang. Seperti
ada bom molotov. Mereka ketakutan dan berteriak histeris. Mereke seperti
berlomba memenangkan pertandingan.
“Kita akan kalah kalau tidak bergerak sama sekali,”
“Biarlah, waktu akan mengujimu,”
“Diam itu mati, maka kau harus bergerak,”
“Tapi ke mana aku akan bergerak?”
Lelaki itu kecapaian. Otaknya dirasakan lelah sekali. Kini,
dia membutuhkan kesegaran. Tapi, dalam jiwanya terus bergejolak. “Kerja, kerja,
kerja…”
“Bergerak, bergerak, bergerak…”
Dia letih dan tertidur.
“Hidup ini adalah pengembaraan,” ungkap Seno membisikkan
hatinya.
“Hidup ini bertarung, kawan,” ajak Gol A Gong.
“Hidup harus punya mimpi. I have the dream,” cetusku mengutip pesan tokoh-tokoh dunia.
Lelaki itu makin mantap memilih dunia mengarang, sebagai
jalan hidupnya. Baginya, mengarang adalah terapi jiwa. Dia ingin mengungkap
seluruh rasa gelisahnya. Rasanya belum tenang, jika hidupnya tidak menulis.
Malamnya, muncul lagi wajah-wajah Eka Kurniawan, Helvy Tiana
Rosa, Asma Nadia, Andrea Hirata, Raditya Radit, Clara Ng, dalam kaca cermin di
kamarnya. Dia membalas sapaan wajah-wajah yang terus memburunya: tunggu aku
juga akan mengikuti jejakmu…
Dia meratapi dirinya sendiri, mengapa aku di sini sendirian?
Dalam sebuah kamar yang sumpek dengan banyak buku-buku berdebu? Tumpukan Koran berserakan,
guntingan kliping Koran, dan sampah. Ya, lebih tepatnya sampah kertas.
Naskah-naskah yang gagal dia robek, namun dia tidak
membuangnya. Dalam sebuah meja, menumpuk juga naskah-naskah setengah jadi yang
penuh coretan. Sumpek. Sungguh sumpek. Dia mirip “manusia kamar”, seperti
cerita Seno.
KENAPA HARUS JADI PENGARANG.
Kata-kata itu tertera di tembok kamarnya ditulis dengan filox
berwarna merah. Foto-foto sastrawan dunia dan Indonesia juga memenuhi dinding.
Seperangkat komputer lengkap dengan printer teronggok di meja kerjanya.
Namaku Garib Ganjar Santika. Sejak dikutuk menjadi
pengarang, aku berusaha mencoba melawan nasib, hampir 20 tahunan merenungi hidup aku tak menemukan
peran dalam hidupku. Aku mencoba protes:
kenapa aku harus menjadi pengarang?
Untuk mencari jawabannya, aku sudah bepergian ke banyak
tempat, aku terus menyandang ransel sambil merenungi arti hidup ini. Aku tak
pernah letih mengembara. Entah sudah berapa gunung kudaki, entah sudah berapa
lembah, bukit, danau, pelosok desa, jalanan becek, pasar, swalayan, mal, atau
ke mana pun, mengikuti langkahku yang tidak mengenal kata berhenti.
Entah sudah berapa ribuan aku menulis cerita, menceritakan
kisah hidupku kepada orang lain, mengirimkannya ke berbagai media, tetapi aku
tidak pernah berkata bosan. Aku kini selalu melakukan terapi kata.
Kata-kata adalah pendorongku. Kata-kata adalah teman dan
sahabatku. Kata-kata terasa abadi dalam sukmaku.
“Ayah, aku sudah mantap memilih garis hidupku: menjadi
pengarang!” aku memberikan doa penghormatanku, di atas pusara makam almarhum
bapaku: Tisna Sudjana.
“Ibu, maafkan aku, aku belum bisa membalas budi baikmu, tapi
aku kini sudah membuktikan bahwa nasehatmu tidak pernah sesat,” kuziarahi makam
ibuku, kutaburkan bunga-bunga dan tetes mata ini, keringat ini, mengucur deras
untuk ibuku, yang tidak pernah bosan dan
menghinaku sebagai anak kandungnya. Namamu, Iyom Siti Romlah, kan kupahat dalam
hati sanubariku.
Lelaki itu, kemudian mengembara mengikuti lagi kata hatinya.
Ayah-ibu, aku tak punya apa-apa untuk dibanggakan. Hanya ini: sebuah pena yang
terus mencatat tentang nasib, tentang
hidup, tentang ada dan tiada. (catatan garib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar