Sabtu, 31 Januari 2015

Prolog: Sebuah Pena yang Terus Mencatat



Siapa yang telah mengutukku menjadi seorang pengarang?

Kata-kata berkelebatan dalam otakku, huruf-huruf mengalir deras dari lubang telinga, hidung, hingga dubur. Kalimat-kalimat merangkai penuh sesak dalam nadiku. Lalu, mereka bersatu bersetubuh sampai orgasmenya memuncak. Jadilah, peristiwa yang bernas, yang mengucur deras bersama keringat dari sekujur tubuh.

“Aku lagi mabuk, asyik masyuk,” seru jiwaku penuh enerjik.

“Haha…haha…kukutuk kau jadi pengarang, maka jadilah….” Suara itu terdengar nyaring. Kucari-cari asal suara itu, tapi nihil. Aku tak menemukan siapa-siapa.

Aku menggebu-gebu. Asap rokok memenuhi sebuah ruangan kecil. Pekat. Seseorang tengah mengambil 
rokok, menghisapnya dalam-dalam, dalam hitungan detik, kembali asap mengepul. “Mengapa kau ikuti aku terus, dalam benakku, kau masuk memaksaku, lambat laun kau menyelinap dalam ragaku. Hingga kutak sadar kau sudah menahun dalam sukmaku,” serunya lagi sambil menyeruput secangkir kopi.

Wajah Arswendo Atmowiloto dengan senyuman yang lebar tiba-tiba mendekatiku. Dari balik jendela kamarku, muncul Seno Gumira Aji Darma melambaikan tangannya.

Aku melongok. Siapa di luar?
Di situ sudah ada Beni Setia, Ajip Rosidi, Wilson Nadeak, Putu Wijaya, AA Navis, Umar Kayam, Gerson Poyk…. Ada apa mereka, diam-diam, mendatangiku?

Aku, kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang kan merayu, tidak juga kau…siapa ini lagi si binatang jalang tiba-tiba menampakkan diri. Buku-buku telah kumakan, kukunyah hingga lembut sekali. Kata-kata mereka kusikat habis, perutku yang lapar sudah kenyang kini.

“Haha…kena juga kau, kau sudah kukutuk menjadi seorang pengarang….” Telingaku makin kencang berdenging.

Aku tak mengenali lagi siapa sesungguhnya aku kini. Hendak ke mana kah aku melangkah? Apakah ke utara atau selatan, barat dan timur? Ke dasar laut, atau ke puncak gunung?
Dari mana sesungguhnya aku, dan akan berhenti di mana aku?

“Aku mencintaimu, dan karenanya aku terus menjaga dan mengikutimu ke mana pun akan pergi,”
“Kenapa kau ikuti aku terus?”
“Aku diutus untuk menjagamu, membimbingmu,”
“Pergi, aku ingin sendirian,”
“Kau belum mampu, karena itu aku sengaja terus membuntutimu,”
“Diamlah…”

Aku diam. Tepekur di malam sunyi. Merenung.
Aku saksikan banyak orang berlari tunggang langgang. Seperti ada bom molotov. Mereka ketakutan dan berteriak histeris. Mereke seperti berlomba memenangkan pertandingan.
“Kita akan kalah kalau tidak bergerak sama sekali,”
“Biarlah, waktu akan mengujimu,”
“Diam itu mati, maka kau harus bergerak,”
“Tapi ke mana aku akan bergerak?” 

Lelaki itu kecapaian. Otaknya dirasakan lelah sekali. Kini, dia membutuhkan kesegaran. Tapi, dalam jiwanya terus bergejolak. “Kerja, kerja, kerja…”
“Bergerak, bergerak, bergerak…”

Dia letih dan tertidur.
“Hidup ini adalah pengembaraan,” ungkap Seno membisikkan hatinya.
“Hidup ini bertarung, kawan,” ajak Gol A Gong.
“Hidup harus punya mimpi. I have the dream,” cetusku mengutip pesan tokoh-tokoh dunia.

Lelaki itu makin mantap memilih dunia mengarang, sebagai jalan hidupnya. Baginya, mengarang adalah terapi jiwa. Dia ingin mengungkap seluruh rasa gelisahnya. Rasanya belum tenang, jika hidupnya tidak menulis.
Malamnya, muncul lagi wajah-wajah Eka Kurniawan, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Andrea Hirata, Raditya Radit, Clara Ng, dalam kaca cermin di kamarnya. Dia membalas sapaan wajah-wajah yang terus memburunya: tunggu aku juga akan mengikuti jejakmu…

Dia meratapi dirinya sendiri, mengapa aku di sini sendirian? Dalam sebuah kamar yang sumpek dengan banyak buku-buku berdebu? Tumpukan Koran berserakan, guntingan kliping Koran, dan sampah. Ya, lebih tepatnya sampah kertas.

Naskah-naskah yang gagal dia robek, namun dia tidak membuangnya. Dalam sebuah meja, menumpuk juga naskah-naskah setengah jadi yang penuh coretan. Sumpek. Sungguh sumpek. Dia mirip “manusia kamar”, seperti cerita Seno.

KENAPA HARUS JADI PENGARANG.

Kata-kata itu tertera di tembok kamarnya ditulis dengan filox berwarna merah. Foto-foto sastrawan dunia dan Indonesia juga memenuhi dinding. Seperangkat komputer lengkap dengan printer teronggok di meja kerjanya.

Namaku Garib Ganjar Santika. Sejak dikutuk menjadi pengarang, aku berusaha mencoba melawan nasib, hampir 20  tahunan merenungi hidup aku tak menemukan peran dalam hidupku.  Aku mencoba protes: kenapa aku harus menjadi pengarang?

Untuk mencari jawabannya, aku sudah bepergian ke banyak tempat, aku terus menyandang ransel sambil merenungi arti hidup ini. Aku tak pernah letih mengembara. Entah sudah berapa gunung kudaki, entah sudah berapa lembah, bukit, danau, pelosok desa, jalanan becek, pasar, swalayan, mal, atau ke mana pun, mengikuti langkahku yang tidak mengenal kata berhenti.

Entah sudah berapa ribuan aku menulis cerita, menceritakan kisah hidupku kepada orang lain, mengirimkannya ke berbagai media, tetapi aku tidak pernah berkata bosan. Aku kini selalu melakukan terapi kata.

Kata-kata adalah pendorongku. Kata-kata adalah teman dan sahabatku. Kata-kata terasa abadi dalam sukmaku.

“Ayah, aku sudah mantap memilih garis hidupku: menjadi pengarang!” aku memberikan doa penghormatanku, di atas pusara makam almarhum bapaku: Tisna Sudjana. 

“Ibu, maafkan aku, aku belum bisa membalas budi baikmu, tapi aku kini sudah membuktikan bahwa nasehatmu tidak pernah sesat,” kuziarahi makam ibuku, kutaburkan bunga-bunga dan tetes mata ini, keringat ini, mengucur deras untuk ibuku, yang  tidak pernah bosan dan menghinaku sebagai anak kandungnya. Namamu, Iyom Siti Romlah, kan kupahat dalam hati sanubariku.

Lelaki itu, kemudian mengembara mengikuti lagi kata hatinya. Ayah-ibu, aku tak punya apa-apa untuk dibanggakan. Hanya ini: sebuah pena yang terus mencatat  tentang nasib, tentang hidup, tentang ada dan tiada. (catatan garib)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar