Kamis, 22 Januari 2015

Gelisah sebagai Sumber Enerji Kreatif



"Mengamati Gerak Kehidupan"


Pengarang itu adalah pengamat kehidupan ini. Setelah menyiapkan batin, dan merasakan gelisah yang tak terbendung, ide kreatif bisa muncul: menulis adalah bagaikan pengungkapan ekspresi atas kejadian sebuah peristiwa yang menarik untuk dijadikan bahan perenungan. 
Cerpenis Khrisna Pabichara menulis “Berhenti Merawat Luka” yang diangkat dari secuplik memoar Dahlan Iskan. Rupanya, reputasi Dahlan Iskan yang semakin melesat karena pernah memegang jabatan Direktur Utama PLN dan pernah menjadi menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebabkan banyak pengarang tertarik untuk memotret perjalanan hidupnya dalam sebuah karya. 
Diceritakan dalam cerpen ini, bahwa di tengah-tengah himpitan hidup, Dahlan kecil mengidamkan sepasang sepatu dan sepeda. Demi mewujudkannya, sejak kelas 3 SR, ia bekerja sebagai kuli nyeset. Ia giat menabung upahnya, agar suatu saat dapat membeli dua mimpi terbesarnya. Namun, karena kebutuhan ekonomi begitu mendesak, sebagian besar hasilnya diberikan kepada sang ibu. 
Pada suatu pagi, Dahlan sangat terkejut ketika tidak menemukan nasi tiwul untuk dimakan. Padahal, biasanya ibunya selalu menyediakan untuk sarapan. Lebih tergeragap lagi, waktu ia menemukan ibunya berjongkok, terguncang-guncang menahan batuk, sambil memegangi batang pisang. Sesaat kemudian, ibunya terjengkang dan dilarikan ke rumah sakit. Meskipun demikian, Dahlan tetap tabah menghadapi cobaan. Di akhir cerita, ia mengabadikan apa yang dialaminya dalam buku catatan. Menulis, baginya, merupakan terapi mujarab dalam rangka mengurangi beban hidup. (Dari Seberang Perbatasan (Cerpen Pilihan Riau Pos 2012), Penulis: Hasan Junus, dll, Editor: Purnimasari, Terbit: November 2012,Penerbit: Yayasan Sagang, Riau).
Pengalamanku, dalam menulis, salah satunya adalah merasa gelisah saat akhir-akhir ini ditemukan mayat bayi yang dibuang orang tak bertanggung jawab.Aborsi dan pembunuhan jabang bayi adalah kisah nyata yang sesungguhnya ada. Simak berita di surat kabar atau internet, pembuang bayi makin hari makin banyak jumlahnya.

Aku makin gelisah, dan menulis:  Dalam sebulan terakhir ini, cerita warga soal bayi yang dibuang orang tak dikenal --diduga merupakan hasil hubungan gelap yang dibuang di sembarangan tempat seperti di sungai, sudut pasar , tempat sampah, sangat mengusik jiwaku. Siapa sesungguhnya pelaku yang sudah membunuh si  jabang bayi? 

Siapakah  ibu atau bapak yang  dengan sengaja membunuh dan melemparkannya  ke sembarang tempat itu?Aku tak kuat menahan bau anyir mayat bayi yang sudah membusuk. Kepalaku pening. Aku bergidik tak tahan melihat jasad kaku yang nasibnya merana. 

Orang-orang merubung sambil menutup hidung.Inalillahi waina ilahi rajiun  Pagi ini semua mata warga seakan ingin mengutuk pelaku tak bertanggungjawab itu. Pasar gaduh. Banyak orang menangis dan merasa iba. 

“Siapa yang tega sudah membunuh makhluk ciptaan Allah? Siapa? Siapa? Siapa?” 

“Sungguh biadab, ibu yang durhaka sangat keji.” 

“Kayaknya bayi ini hasil hubungan gelap. Sangat memalukan!” 
“Mau enaknya aja bikin sembunyi-sembunyi sudah jadi bayi dibuang percuma…!” 

Orang-orang ramai membicarakan kejadian tadi pagi yang memilukan. Ide tersebut kemudian dikembangkan menjadi Cerpen "Nyanyian Anak Jalan". (Lebih lengkapnya simak di www.radarcirebon.com (Sumber Radar Cirebon, 6 Desember 2014).        

Novelis Arswendo Atmowiloto tergerak menulis tentang kucing dan jarinya menari untuk bercerita tentang kesepian hidup dan kerinduan akan kucing kesayangannya. Kucing itu sepertinya dikirim oleh induknya, seekor betina yang buta. Atau minimal pandangannya terbatas karena jalannya tidak lurus dan beberapa kali menabrak benda-benda yang ada di depannya. Bahkan kehadirannya agak aneh. Betina hamil itu muncul begitu saja di lantai 9, tempat tinggal saya.



Entah lewat mana, atau bagaimana. Saat berjalan melenggok, ia menabrak kaki saya. Biasanya kucing memang suka bermanja-manja. Tapi yang ini tidak seperti itu. Sepertinya ia kaget karena eongannya terdengar meliuk. Pada kesempatan itu, saya memberikan potongan daging ayam goreng. 

 Dengan teknik yang brilian Arswendo menggarap ide liarnya menjadi Kucing yang Berubah Jadi Manusia (Media Indonesia, 16 November 2014). Coba simak juga bagaimana Agus Noor menulis Ada yang Menangis Sepanjang Hari: Tangisan itu seperti kesedihan yang mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah kampung pinggir kota itu. Karena hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para warga pun tak terlalu peduli.


Tapi ketika sampai malam tangis itu terus terdengar, sebagian warga pun menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja tangis itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan. Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda... (catatan garib)



 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar