"Mengamati Gerak Kehidupan"
Pengarang itu adalah pengamat kehidupan ini. Setelah menyiapkan batin, dan merasakan gelisah yang tak terbendung, ide kreatif bisa muncul: menulis adalah bagaikan pengungkapan ekspresi atas kejadian sebuah peristiwa yang menarik untuk dijadikan bahan perenungan.
Cerpenis Khrisna Pabichara menulis “Berhenti Merawat Luka” yang diangkat dari secuplik memoar Dahlan Iskan.
Rupanya, reputasi Dahlan Iskan yang semakin melesat karena pernah memegang jabatan
Direktur Utama PLN dan pernah menjadi menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
menyebabkan banyak pengarang tertarik untuk memotret perjalanan hidupnya dalam
sebuah karya.
Diceritakan dalam cerpen ini, bahwa di tengah-tengah himpitan
hidup, Dahlan kecil mengidamkan sepasang sepatu dan sepeda. Demi mewujudkannya,
sejak kelas 3 SR, ia bekerja sebagai kuli nyeset. Ia giat menabung upahnya,
agar suatu saat dapat membeli dua mimpi terbesarnya. Namun, karena kebutuhan
ekonomi begitu mendesak, sebagian besar hasilnya diberikan kepada sang ibu.
Pada suatu pagi, Dahlan sangat terkejut ketika tidak menemukan nasi tiwul untuk
dimakan. Padahal, biasanya ibunya selalu menyediakan untuk sarapan. Lebih
tergeragap lagi, waktu ia menemukan ibunya berjongkok, terguncang-guncang
menahan batuk, sambil memegangi batang pisang. Sesaat kemudian, ibunya
terjengkang dan dilarikan ke rumah sakit. Meskipun demikian, Dahlan tetap tabah
menghadapi cobaan. Di akhir cerita, ia mengabadikan apa yang dialaminya dalam
buku catatan. Menulis, baginya, merupakan terapi mujarab dalam rangka
mengurangi beban hidup. (Dari Seberang Perbatasan
(Cerpen Pilihan Riau Pos 2012), Penulis: Hasan Junus, dll, Editor: Purnimasari, Terbit: November 2012,Penerbit: Yayasan Sagang, Riau).
Pengalamanku, dalam menulis, salah satunya adalah merasa gelisah saat akhir-akhir ini ditemukan mayat bayi yang dibuang orang tak bertanggung jawab.Aborsi dan pembunuhan jabang bayi adalah kisah nyata yang sesungguhnya ada. Simak berita di surat kabar atau internet, pembuang bayi makin hari makin banyak jumlahnya.
Aku makin gelisah, dan menulis: Dalam sebulan terakhir ini, cerita warga soal bayi yang dibuang
orang tak dikenal --diduga merupakan hasil hubungan gelap yang dibuang di sembarangan
tempat seperti di sungai, sudut pasar , tempat sampah, sangat mengusik jiwaku. Siapa sesungguhnya pelaku yang sudah membunuh si jabang bayi?
Siapakah ibu atau bapak yang dengan sengaja membunuh dan melemparkannya ke sembarang tempat itu?Aku tak kuat menahan bau anyir mayat bayi yang sudah
membusuk. Kepalaku pening. Aku bergidik tak tahan melihat jasad kaku yang
nasibnya merana.
Orang-orang merubung sambil menutup hidung.Inalillahi waina ilahi
rajiun… Pagi ini semua mata warga
seakan ingin mengutuk pelaku tak bertanggungjawab itu. Pasar gaduh. Banyak
orang menangis dan merasa iba.
“Siapa yang tega sudah membunuh makhluk ciptaan Allah? Siapa?
Siapa? Siapa?”
“Sungguh biadab, ibu yang durhaka sangat keji.”
“Kayaknya bayi ini hasil hubungan gelap. Sangat memalukan!”
“Mau enaknya aja bikin sembunyi-sembunyi sudah jadi bayi
dibuang percuma…!”
Orang-orang ramai membicarakan
kejadian tadi pagi yang memilukan. Ide tersebut kemudian dikembangkan menjadi Cerpen "Nyanyian Anak Jalan". (Lebih lengkapnya simak di www.radarcirebon.com (Sumber Radar Cirebon, 6 Desember 2014).
Novelis Arswendo Atmowiloto tergerak menulis tentang kucing dan jarinya menari untuk bercerita tentang kesepian hidup dan kerinduan akan kucing kesayangannya. Kucing itu
sepertinya dikirim oleh induknya, seekor betina yang buta. Atau minimal
pandangannya terbatas karena jalannya tidak lurus dan beberapa kali menabrak
benda-benda yang ada di depannya. Bahkan kehadirannya agak aneh. Betina hamil
itu muncul begitu saja di lantai 9, tempat tinggal saya.
Entah lewat mana, atau bagaimana.
Saat berjalan melenggok, ia menabrak kaki saya. Biasanya kucing memang suka
bermanja-manja. Tapi yang ini tidak seperti itu. Sepertinya ia kaget karena
eongannya terdengar meliuk. Pada kesempatan itu, saya memberikan potongan
daging ayam goreng.
Dengan teknik yang brilian Arswendo menggarap ide liarnya menjadi Kucing yang Berubah Jadi Manusia (Media Indonesia, 16 November 2014). Coba simak juga bagaimana Agus Noor menulis Ada yang Menangis Sepanjang Hari: Tangisan itu seperti kesedihan yang
mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah kampung pinggir kota itu. Karena
hampir setiap hari mendengar orang menangis, maka para warga pun tak terlalu
peduli.
Tapi ketika sampai malam tangis itu
terus terdengar, sebagian warga pun menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja
tangis itu seperti mengingatkan pada banyak kesedihan yang diam-diam ingin
mereka lupakan. Tangis itu jadi mirip cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding
rumah. Bagai mimpi buruk yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan.
Beberapa warga yang jengkel langsung mendatangi pos ronda... (catatan garib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar