Cerpen Garib Ganjar Santika
Aku
benci kemiskinan. Kotaku sangat menjijikkan. Di setiap sudut kota, aku temukan
kaum nestapa mulai pengamen, peminta-minta di tepi jalan hingga lampu merah. Di
sudut-sudut kota itu juga aku lihat perkampungan kumuh sangat bau dan
menyebalkan. Udara pagi seakan penuh dengan kotoran. Seperti sampah yang baunya
minta ampun.
Lelaki
50-an itu mengemudikan sedannya dengan kecepatan rendah sambil bercakap sendiri
dan mengamati sekeliling. Dia berkata, mengapa banyak orang miskin, mengapa
pula banyak orang lapar. Mereka merengek minta dikasihani, ada juga yang minta
diperhatikan dan diberi makanan. Mereka jumlahnya banyak. Tumplek. Siapa yang
sudah menciptakan kemiskinan?
Pagi
yang seharusnya indah, malah kusaksikan seorang bapak dengan wajah bopeng penuh
luka, tubuhnya dibalut perban. Dia mirip suster ngesot, menggeser-geserkan
tubuhnya di jalan raya. Dia menengadahkan tangannya dan meronta-ronta.
“Kasihanilah
aku, belum makan…” keluh si tua itu.
Saat
lampu merah itulah, segerombolan tuna daksa itu bagaikan mendapatkan berkah.
Ada yang menghampiri mobil dan mengelap kaca asal-asalan. Ada yang memainkan
kecrekan—suaranya berisik sekali—maklum alat musik asal-asal itu terbuat dari
bekas tutup teh botol yang disatukan. Ada pula yang – astagfirullah—menggendong
seorang bayi. Si ibu, yang kelihatan tua—tapi usianya masih muda—dengan tertatih-tatih menghampiri
setiap kendaraan sambil meminta-minta. “Tolonglah…pa bu…anak saya belum dapat
makan sejak kemarin….” Rengeknya.
Adegan
yang penuh dengan dramatis itu menjadi potret keseharian kaum jalanan. Kotor,
menjijikan, dan minta dikasihani—menjadi suasana yang menyebalkan dan
membosankan. Negeri ini katanya kaya, dengan potensi alam yang melimpah ruah.
Katanya, negeri ini juga kaya, dengan ladang minyak dan gas yang merebak di
sepanjang Nusantara. Katanya, negeri ini juga kaya raya, dengan segudang emas
yang terus dieksporasi. Katanya, begitu, katanya, negeri yang subur dan makmur
loh jinawi…
“Aku
benci kemiskinan,,,” kata lelaki dengan kemeja putih itu sambil
meludah—persisnya meludahi mereka kaum pinggiran yang sangat memuakkan.
Dia
hentikan mobilnya sejenak. Sambil menggerutu dia tancap gas hingga asapnya
mengepul ke udara. “Kemiskinan pergilah….jauhkan dariku…..” katanya sambil
marah.
Orang-orang
melihatnya. “Busyet dah…bukannya ngasih uang malah ngasih asap kotor…dasar
orang kaya…” Celetuk seorang pengamen.
“Kalian
harus keluar dari kemiskinan ini. Tak seharusnya kalian di sini, di jalan ini…”
dia keluar mobil dan mengampiri mereka.
“Hey,
siapa kamu, seenaknya ngomong begitu?” Seorang lelaki kekar mirip jeger jalanan
tiba-tiba mendekatinya.
Lelaki
itu dirubung banyak orang. “Maksud kamu apa, menghina kami ya…?” Seorang pemuda
tanggung dengan tato di lengannya itu
menarik bajunya. “Kamu mau apa? Siapa kamu. Orang lain ga pernah ada yang
menyentuh kami bahkan ngomong seenak dewek…” Si kerempeng itu pun marah.
Kaum
jalanan makin banyak merubung. Kompak. Mereka sudah melingkarinya.
“Aku
butuh makan….” Teriak salah satu anak asongan persis di depan telinganya.
“Habisi
aja dia, wong seenaknya aja kalo ngomong…Ayo kita habisin dia…” Seorang preman
lainnya mencoba mengompori.
“Jangan….”
Seorang Ibu yang tadi menggendong bayi tiba-tiba menghentikan aksi.
Suasana
diam.
“Kami di
sini memang bukan siapa-siapa. Kami sangat miskin. Tapi kami tak meminta
menjadi pengemis, menjadi peminta-minta. Kami hanya butuh hidup. Haus dan lapar
sudah biasa kami menjalaninya… Maaf pa, tadi bapak bilang harus keluar dari
kemiskinan? Apa maksud bapak…?” Rupanya si ibu itu tertarik juga dengan
kata-kata dia.
Haha…Lelaki misterius itu tak sadar tertawa.
“Heh
monyong malah ketawa….Apa maksud harus keluar dari kemiskinan???” Si kekar tadi
makin tertarik juga.
Kemiskinan
sesungguhnya tanggungjawab siapa? Setiap pesta demokrasi, rakyat sudah memilih
pemimpin, setiap 5 tahun sekali, rakyat pun sudah memilih wakil-wakil rakyat.
Tapi, tak ada seorang pun yang bisa mengatasi kemiskinan. Ke mana orang-orang
berkuasa, ke mana mereka yang kaya raya? Ke mana pula, mereka yang punya
kebijakan?
“Mulai
sekarang, kalian harus menikmati jadi orang kaya baru. Nih, ambil bagi rata.
Awas jangan berebutan….” Dia lempar segepok uang. Mirip saweran. Ya, memang dia
menyawer uang dengan percuma. Dia lempar ke udara, dan uang pun berhamburan.
Hahaha….Ayo,
ambil dan habiskan…
Para
tuna daksa itu bukan main senangnya. Mereka berebutan. Saling sikut dan saling tendang
demi mendapatkan uang. “Ini buatku…awas ini punyaku….” Seru di antara mereka.
“Aduh,
kamu injak kakiku, hey awas aku bagi….Kamu jangan serakah….aku minta….”
Seru.
Mereka mabuk uang.
“Selamat
tinggal kemiskinan. Kalian boleh beli apa aja semaumu. Habiskan uangnya…” Katanya
sambil dengan perlahan melajukan mobilku.
Mereka
rupanya tak mendengarkan. Saking sibuknya mengumpulkan uang yang tercecer. Pagi
yang indah aku sangat bahagia sekali bisa berbagi dengan mereka, gumam dia.
“Untuk
apa aku bekerja keras hanya untuk mengumpulkan uang, menumpuk harta, tapi di
sekelilingku adalah orang-orang papa,” dia terus berkata-kata.
Di
perempatan, lelaki asing yang sudah membuat kejutan bagi kaum okem itu,
berbelok ke kanan.
*
Pecak
bukan main girangnya. ABG yang satu ini mendapatkan uang Rp5 Juta dari sawaren
si bapak yang misterius itu. Dia lari ke rumahnya, di kolong jembatan, tempat
bapa dan ibunya beristirahat dan tidur.
“Hore,
Bu… Bapa…mana??? Aku dapat uang banyak. Ayo kita belanja. Kita habiskan uang
ini….” Teriak Pecak, si ABG yang matanya cacat satu itu.
Bukan
main kagetnya. Icah, Ibunya, meraba satu demi satu uang yang dibawa anak
kesayangannya itu. Dia tak percaya. Semalam pun dia tak merasa bermimpi.
“Benar
Bu, itu uang beneran, ayo kita belanja bu. Pecak pengen beli baju, sepatu, dan
makanan yang enak-enak. Ayo, bu kita habiskan…” Pecak teramat bahagia.
Icah
masih tak percaya. Dia pingsan.
“Bu,
kenapa Bu,… ini uang asli Bu….Kata bapak itu uang ini harus dihabiskan.. Bu…”
Pecak berusaha membangunkan ibunya.
Begitu
pula dengan kaum pinggiran yang lainnya. Semuanya tak percaya. Masa di pagi
hari saat memulai mengemis, tiba-tiba ada orang turun dari mobil mewah dan
dengan mudahnya memberikan puluhan juta. Uang yang dilemparkan begitu saja.
“Gue tak percaya sungguh. Ada hujan uang…” Si
kerempeng bertato yang biasa dipanggil Malang nyerocos.
“Sama
gue juga ga percaya, tapi saat kutampar pipiku dengan keras, ini bukan mimpi.
Ini adalah anugerah terindah buatku, bahkan buat kita. Sudah lama, aku berharap
ada orang baik turun dari langit. Bukankah, sangat jarang ada orang baik di
sini….?” Celetuk Pincang, si remaja yang suka mengamen itu.
“Ya,
betul ini jelas anugerah terindah. Tuhan kirimkan wali, melalui bapak yang baik
hati itu, untuk memberikan uang bagi kita-kita. Saya percaya Tuhan sekarang,
malam kemarin, saya berdoa. Oh Tuhan kirimkan rejeki kepada kami. Kalo Tuhan
benar-benar ada buktikan dan kirimlah uang kepada kami. Tuhan, memang Maha
Mendengar, betul tidak?” Rupanya Buntung pun tak mau kalah dengan temannya.
Mereka
terus saja bersenda gurau dan saling bercerita satu sama yang lainnya, sambil
memikirkan siapa sesungguhnya lelaki itu—atau bapak yang baik hati itu???
Tuhan, masih adakah orang baik di muka bumi ini?
**
Lelaki
misterius yang disebut-sebut sebagai bapak yang baik itu, kini menjadi
perbincangan hangat. Bukan saja bagi kalangan orang pinggiran, atau kaum okem
dan sejenisnya. Ternyata, lelaki superbaik itu, melakukan aksi blusukan ke
sudut kota, ke tempat-tempat kumuh, kotor, dan bau. Dia terus memberikan uang
dengan cuma-cuma. Dia terus melakukan saweran sambil berkata: aku benci
kemiskinan. Itu sudah jadi kredo.
“Negeri
ini kaya, masa rakyatnya jelata,” kata lelaki itu saat memberikan uang kepada
anak-anak jalanan.
Anak-anak
jalanan yang polos dan lugu itu menyaksikan bagaimana lelaki itu berceramah,
bahkan dia juga sepertinya melakukan orasi politik—seperti yang dilakukan para
caleg saat berkampanye, atau cabup, cawalkot, cagub hingga capres.
“Yang
kaya makin sombong, yang miskin makin terjerumus. Yang kuasa makin digdaya,
yang lemah makin kalah. Kalian adalah anak-anak kehidupan, tak seharusnya hidup
di jalanan. Kalian tak layak hidup dalam kesengsaraan. Kalian harus
diberdayakan…..” pidato lelaki asing itu makin menjadi-jadi.
Begitulah,
setiap hari lelaki itu menyambangi rumah-rumah penduduk, menyapa warga dan
bersilaturahmi sambil terus berbagi. Dia juga sering menginap di rumah
penduduk. Tak jarang dia juga menyelinap ke lokasi pelacuran dan memberinya
banyak uang kepada para WTS sambil berkata: aku benci kemiskinan, maka kalian
jangan mau dibayar murah meriah. Naikkan tarifmu? Mahalkan hargamu?
Siapa
sesungguhnya lelaki tersebut? Dia tak mau diekspos baik di Koran maupun di TV.
Banyak orang jadinya terkesan dengan aksi misteriusnya itu. Tak sedikit banyak
orang pula, menilai bahwa dia layak menjadi pemimpin di negeri ini. Dia sudah
menyadarkan banyak orang untuk hidup saling menolong. Saling berbagi.
“Sebelum
mati, aku harus berbuat kebajikan. Uang bagiku bukan segalanya…Aku tak mau
kuburanku sempit gara-gara aku pelit…” lelaki itu mengakhiri kuliahnya di salah
satu kampung—yang konon dia datang karena diundang warga kampung.
***
Lelaki
asing dan misterius itu menyerahkan diri kepada KPK.
“Gantung
aku di Monas….” Sedikit pun dia tak ragu.
Wartawan
bagaikan nyamuk yang terus berdenging dengan gesitnya mewawancarainya. Baik
Koran dan TV terus memberitakan lelaki itu yang rela mati. Dia mengaku korupsi
Rp7 Triliun. Dia malu dan tak ingin melihat ada generasi koruptor yang tunggang
langgang di negeri ini.
Kota
Angin 24-10-14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar