Sabtu, 31 Januari 2015

Wajah Kota yang Menyebalkan



Cerpen Garib Ganjar Santika

Aku benci kemiskinan. Kotaku sangat menjijikkan. Di setiap sudut kota, aku temukan kaum nestapa mulai pengamen, peminta-minta di tepi jalan hingga lampu merah. Di sudut-sudut kota itu juga aku lihat perkampungan kumuh sangat bau dan menyebalkan. Udara pagi seakan penuh dengan kotoran. Seperti sampah yang baunya minta ampun.

Lelaki 50-an itu mengemudikan sedannya dengan kecepatan rendah sambil bercakap sendiri dan mengamati sekeliling. Dia berkata, mengapa banyak orang miskin, mengapa pula banyak orang lapar. Mereka merengek minta dikasihani, ada juga yang minta diperhatikan dan diberi makanan. Mereka jumlahnya banyak. Tumplek. Siapa yang sudah menciptakan kemiskinan?

Pagi yang seharusnya indah, malah kusaksikan seorang bapak dengan wajah bopeng penuh luka, tubuhnya dibalut perban. Dia mirip suster ngesot, menggeser-geserkan tubuhnya di jalan raya. Dia menengadahkan tangannya dan meronta-ronta.

“Kasihanilah aku, belum makan…” keluh si tua itu.
Saat lampu merah itulah, segerombolan tuna daksa itu bagaikan mendapatkan berkah. Ada yang menghampiri mobil dan mengelap kaca asal-asalan. Ada yang memainkan kecrekan—suaranya berisik sekali—maklum alat musik asal-asal itu terbuat dari bekas tutup teh botol yang disatukan. Ada pula yang – astagfirullah—menggendong seorang bayi. Si ibu, yang kelihatan tua—tapi  usianya masih muda—dengan tertatih-tatih menghampiri setiap kendaraan sambil meminta-minta. “Tolonglah…pa bu…anak saya belum dapat makan sejak kemarin….” Rengeknya.

Adegan yang penuh dengan dramatis itu menjadi potret keseharian kaum jalanan. Kotor, menjijikan, dan minta dikasihani—menjadi suasana yang menyebalkan dan membosankan. Negeri ini katanya kaya, dengan potensi alam yang melimpah ruah. Katanya, negeri ini juga kaya, dengan ladang minyak dan gas yang merebak di sepanjang Nusantara. Katanya, negeri ini juga kaya raya, dengan segudang emas yang terus dieksporasi. Katanya, begitu, katanya, negeri yang subur dan makmur loh jinawi…

“Aku benci kemiskinan,,,” kata lelaki dengan kemeja putih itu sambil meludah—persisnya meludahi mereka kaum pinggiran yang sangat memuakkan.

Dia hentikan mobilnya sejenak. Sambil menggerutu dia tancap gas hingga asapnya mengepul ke udara. “Kemiskinan pergilah….jauhkan dariku…..” katanya sambil marah.
Orang-orang melihatnya. “Busyet dah…bukannya ngasih uang malah ngasih asap kotor…dasar orang kaya…” Celetuk seorang pengamen.

“Kalian harus keluar dari kemiskinan ini. Tak seharusnya kalian di sini, di jalan ini…” dia keluar mobil dan mengampiri mereka.
“Hey, siapa kamu, seenaknya ngomong begitu?” Seorang lelaki kekar mirip jeger jalanan tiba-tiba mendekatinya.

Lelaki itu dirubung banyak orang. “Maksud kamu apa, menghina kami ya…?” Seorang pemuda tanggung  dengan tato di lengannya itu menarik bajunya. “Kamu mau apa? Siapa kamu. Orang lain ga pernah ada yang menyentuh kami bahkan ngomong seenak dewek…” Si kerempeng itu pun marah.
Kaum jalanan makin banyak merubung. Kompak. Mereka sudah melingkarinya.
“Aku butuh makan….” Teriak salah satu anak asongan persis di depan telinganya.
“Habisi aja dia, wong seenaknya aja kalo ngomong…Ayo kita habisin dia…” Seorang preman lainnya mencoba mengompori.
“Jangan….” Seorang Ibu yang tadi menggendong bayi tiba-tiba menghentikan aksi.
Suasana diam.
“Kami di sini memang bukan siapa-siapa. Kami sangat miskin. Tapi kami tak meminta menjadi pengemis, menjadi peminta-minta. Kami hanya butuh hidup. Haus dan lapar sudah biasa kami menjalaninya… Maaf pa, tadi bapak bilang harus keluar dari kemiskinan? Apa maksud bapak…?” Rupanya si ibu itu tertarik juga dengan kata-kata dia.

Haha…Lelaki  misterius itu tak sadar tertawa.
“Heh monyong malah ketawa….Apa maksud harus keluar dari kemiskinan???” Si kekar tadi makin tertarik juga.
Kemiskinan sesungguhnya tanggungjawab siapa? Setiap pesta demokrasi, rakyat sudah memilih pemimpin, setiap 5 tahun sekali, rakyat pun sudah memilih wakil-wakil rakyat. Tapi, tak ada seorang pun yang bisa mengatasi kemiskinan. Ke mana orang-orang berkuasa, ke mana mereka yang kaya raya? Ke mana pula, mereka yang punya kebijakan?

“Mulai sekarang, kalian harus menikmati jadi orang kaya baru. Nih, ambil bagi rata. Awas jangan berebutan….” Dia lempar segepok uang. Mirip saweran. Ya, memang dia menyawer uang dengan percuma. Dia lempar ke udara, dan uang pun berhamburan.
Hahaha….Ayo, ambil dan habiskan…

Para tuna daksa itu bukan main senangnya. Mereka berebutan. Saling sikut dan saling tendang demi mendapatkan uang. “Ini buatku…awas ini punyaku….” Seru di antara mereka.
“Aduh, kamu injak kakiku, hey awas aku bagi….Kamu jangan serakah….aku minta….”
Seru. Mereka mabuk uang.

“Selamat tinggal kemiskinan. Kalian boleh beli apa aja semaumu. Habiskan uangnya…” Katanya sambil dengan perlahan melajukan mobilku.

Mereka rupanya tak mendengarkan. Saking sibuknya mengumpulkan uang yang tercecer. Pagi yang indah aku sangat bahagia sekali bisa berbagi dengan mereka, gumam dia.
“Untuk apa aku bekerja keras hanya untuk mengumpulkan uang, menumpuk harta, tapi di sekelilingku adalah orang-orang papa,” dia terus berkata-kata.
Di perempatan, lelaki asing yang sudah membuat kejutan bagi kaum okem itu, berbelok ke kanan.

*
Pecak bukan main girangnya. ABG yang satu ini mendapatkan uang Rp5 Juta dari sawaren si bapak yang misterius itu. Dia lari ke rumahnya, di kolong jembatan, tempat bapa dan ibunya beristirahat dan tidur.
“Hore, Bu… Bapa…mana??? Aku dapat uang banyak. Ayo kita belanja. Kita habiskan uang ini….” Teriak Pecak, si ABG yang matanya cacat satu itu.

Bukan main kagetnya. Icah, Ibunya, meraba satu demi satu uang yang dibawa anak kesayangannya itu. Dia tak percaya. Semalam pun dia tak merasa bermimpi.
“Benar Bu, itu uang beneran, ayo kita belanja bu. Pecak pengen beli baju, sepatu, dan makanan yang enak-enak. Ayo, bu kita habiskan…” Pecak teramat bahagia.
Icah masih tak percaya. Dia pingsan.

“Bu, kenapa Bu,… ini uang asli Bu….Kata bapak itu uang ini harus dihabiskan.. Bu…” Pecak berusaha membangunkan ibunya.
Begitu pula dengan kaum pinggiran yang lainnya. Semuanya tak percaya. Masa di pagi hari saat memulai mengemis, tiba-tiba ada orang turun dari mobil mewah dan dengan mudahnya memberikan puluhan juta. Uang yang dilemparkan begitu saja.

 “Gue tak percaya sungguh. Ada hujan uang…” Si kerempeng bertato yang biasa dipanggil Malang nyerocos.

“Sama gue juga ga percaya, tapi saat kutampar pipiku dengan keras, ini bukan mimpi. Ini adalah anugerah terindah buatku, bahkan buat kita. Sudah lama, aku berharap ada orang baik turun dari langit. Bukankah, sangat jarang ada orang baik di sini….?” Celetuk Pincang, si remaja yang suka mengamen itu.
“Ya, betul ini jelas anugerah terindah. Tuhan kirimkan wali, melalui bapak yang baik hati itu, untuk memberikan uang bagi kita-kita. Saya percaya Tuhan sekarang, malam kemarin, saya berdoa. Oh Tuhan kirimkan rejeki kepada kami. Kalo Tuhan benar-benar ada buktikan dan kirimlah uang kepada kami. Tuhan, memang Maha Mendengar, betul tidak?” Rupanya Buntung pun tak mau kalah dengan temannya.
Mereka terus saja bersenda gurau dan saling bercerita satu sama yang lainnya, sambil memikirkan siapa sesungguhnya lelaki itu—atau bapak yang baik hati itu??? Tuhan, masih adakah orang baik di muka bumi ini?
**


Lelaki misterius yang disebut-sebut sebagai bapak yang baik itu, kini menjadi perbincangan hangat. Bukan saja bagi kalangan orang pinggiran, atau kaum okem dan sejenisnya. Ternyata, lelaki superbaik itu, melakukan aksi blusukan ke sudut kota, ke tempat-tempat kumuh, kotor, dan bau. Dia terus memberikan uang dengan cuma-cuma. Dia terus melakukan saweran sambil berkata: aku benci kemiskinan. Itu sudah jadi kredo.
“Negeri ini kaya, masa rakyatnya jelata,” kata lelaki itu saat memberikan uang kepada anak-anak jalanan.
Anak-anak jalanan yang polos dan lugu itu menyaksikan bagaimana lelaki itu berceramah, bahkan dia juga sepertinya melakukan orasi politik—seperti yang dilakukan para caleg saat berkampanye, atau cabup, cawalkot, cagub hingga capres.

“Yang kaya makin sombong, yang miskin makin terjerumus. Yang kuasa makin digdaya, yang lemah makin kalah. Kalian adalah anak-anak kehidupan, tak seharusnya hidup di jalanan. Kalian tak layak hidup dalam kesengsaraan. Kalian harus diberdayakan…..” pidato lelaki asing itu makin menjadi-jadi.
Begitulah, setiap hari lelaki itu menyambangi rumah-rumah penduduk, menyapa warga dan bersilaturahmi sambil terus berbagi. Dia juga sering menginap di rumah penduduk. Tak jarang dia juga menyelinap ke lokasi pelacuran dan memberinya banyak uang kepada para WTS sambil berkata: aku benci kemiskinan, maka kalian jangan mau dibayar murah meriah. Naikkan tarifmu? Mahalkan hargamu?
Siapa sesungguhnya lelaki tersebut? Dia tak mau diekspos baik di Koran maupun di TV. Banyak orang jadinya terkesan dengan aksi misteriusnya itu. Tak sedikit banyak orang pula, menilai bahwa dia layak menjadi pemimpin di negeri ini. Dia sudah menyadarkan banyak orang untuk hidup saling menolong. Saling berbagi.
“Sebelum mati, aku harus berbuat kebajikan. Uang bagiku bukan segalanya…Aku tak mau kuburanku sempit gara-gara aku pelit…” lelaki itu mengakhiri kuliahnya di salah satu kampung—yang konon dia datang karena diundang warga kampung.
***

Lelaki asing dan misterius itu menyerahkan diri kepada KPK.
“Gantung aku di Monas….” Sedikit pun dia tak ragu.
Wartawan bagaikan nyamuk yang terus berdenging dengan gesitnya mewawancarainya. Baik Koran dan TV terus memberitakan lelaki itu yang rela mati. Dia mengaku korupsi Rp7 Triliun. Dia malu dan tak ingin melihat ada generasi koruptor yang tunggang langgang di negeri ini.

Kota Angin 24-10-14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar