Kupu-Kupu yang
Menari di Mata Ibu
Cerpen
Garib Ganjar Santika
Tantri bingung. Tugas mengarang guru Bahasa Indonesia di
sekolahnya soal kepahlawan dalam benaknya tak menemukan sosok atau figur yang
harus dibanggakan. Dia ingin bercerita soal kisah pahit yang dialami ibunya
sendiri.
“Aku ingin curhat aja, bukan cerpen,” keluhnya.
Teman sebangkunya, Anita sudah menyelesaikan karangannya soal
kegigihan tukang serabi yang sudah dijalaninya secara turun temurun, yang biasa
mangkal di sekitar kompeks Kasepuhan Kota Udang itu.
Yunita, sahabatnya, mengangkat kisah sukses seorang ibu pembuat
batik yang bisa menyekolahkan anak-anaknya dan meraih sarjana.
“Ibuku juga gigih, dia rela mengorbankan harga diri demi
sesuap nasi,” cetus Tantri.
Namun, dia masih ragu, apakah karangannya akan dianggap
vulgar atau mengada-ngada? Apakah gurunya akan marah bila membaca kisah sedih
mamanya itu? Apakah ibunya juga akan menanggung malu jika kelak kisahnya
terbongkar yang selalu melayani lelaki hidung belang?
“Aku tak bisa berbohong dan tak bisa mengarang,” hibur
hatinya.
Karangan Tantri memang belum selesai tapi dia tak peduli.
Mendadak dia jadi gamang, apa sih maksud sang guru memberikan pelajarang
mengarang? Apakah untuk mengorek kehidupan pribadi setiap muridnya? Apakah
pelajaran mengarang supaya para murid selalu mengelabui kehidupan yang
sesungguhnya?
Apakah lebih terhormat sebagai tukang serabi atau perias
salon kecantikan? Apakah lebih terhormat sebagai guru agama daripada menjadi
seorang penjaja cinta?
Tantri benar-benar bingung. Kembali, dia hanya ingin curhat
saja. Curhat atas peristiwa yang memiriskan hatinya. Curhat atas kenyataan
hidupnya yang memilukan. Dia ingat ayahnya yang terus menerus harus masuk rumah
sakit, dia juga ingat saat adik-adiknya yang masih balita harus diberikan susu
yang kini harganya melambung?
Ibuku
seorang pekerja seks komersial (PSK). Itu lebih terhormat daripada disebut
sebagai pelacur. Ia sudah bekerja siang-malam, demi menghidupi aku, adikku, dan
bahkan ayahku—yang kini hanya bisa terbaring akibat penyakit yang menahun
diabetes.
Kalau tak
ada ibuku, mungkin ayahku sudah tiada. Ibu, meski dihina, dicaci maki, oleh
banyak orang, menurutku adalah pahlawan.
Entah harus
mulai dari mana kisah pahit ibuku. Saat teman-temanku membanggakan sosok dan
figur ibu yang menjadi guru, politisi, anggota DPRD, bupati, pengusaha, atau
pedagang. Tetapi, aku hanya bisa membanggakan kisah ibuku sebagai pelacur
jalanan, oh tidak, PSK profesional.
Aku hidup
karena dia. Aku bangga padanya kendatipun orang-orang menghinaku sebagai anak
haram. Walaupun di kampungku, keluargaku dicemoohkan, aku merasa bangga punya
ibu. Dia pejuang sejati. Dia mata hatiku.
Ibuku,
dengan jerih payahnya mampu menghidupi aku hingga bisa bersekolah.
“Nak, Ibu
rela menjadi pelacur,” kata ibuku.
“Nak, belajarlah
dengan tetap semangat…”
“Nak,
gapailah masa depanmu…”
Masih
terngiang jelas di telingaku dan menjadi api semangat dalam hidupku.
“Kau harus
seperti air yang mengalir, menjadi udara yang menyejukkan hidupmu. Atau kau
harus seperti batu yang kuat pendiriannya. Jangan seperti ibu yang seperti
kupu-kupu malam…”
Tapi tidak
bu, aku tak melihat ibu sebagai kupu-kupu malam. Aku selalu melihat kupu-kupu menari
di mata ibu. Kupu-kupu yang terbang dengan bebasnya, memiliki tubuh indah dan
penuh warna. Kupu-kupu yang tak pernah letih, hinggap di setiap bunga.
Kupu-kupu yang eksotik memberikan cahaya hidup ini.
“Kalau tak ada ibu, semuanya akan mati,” dia berurai air
mata. Tantri merasakan sakit hatinya. Kenapa nasibku sangat menyedihkan. Ya,
Tuhan, alamat apakah ini? Mengapa kawan-kawanku memiliki ayah dan ibu yang
berpenghasilan lebih? Mengapa, aku ditakdirkan memiliki ibu yang tidak wajar
dan keluarga yang malang?
**
Tantri dipanggil Bu Ratna, guru bimbingan dan pembinaan (BP)
gara-gara karangannya dianggap terlalu vulgar dan menelanjangi kaum hawa;
melecehkan dan menghina derajat wanita. Dalam pelajaran mengarang dia bercerita
soal ibunya yang menjadi pelacur jalanan.
“Tantri, segera menghadap guru BP,” kata Pak Iwan wali
kelasnya. “Ada apa, Pak? Aku salah apa, ya,” elak gadis berambut pirang—karena
di cat metalik, sebuah mode rambut terkini mirip artis atau selebritis di TV.
“Tantri, cepat, kamu benar dipanggil guru BP,” rupanya Pak
Iwan merasa kesal dan jengkel.
Tantri celingukan,”So
what? Ada apa gitu lhoh?”
Guru Iwan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah anak
didiknya itu. Rambut pirang, jam tangan besar, dan rok mini, itukah gaya anak
sekolahan sekarang ini? Di leher gadis imut-imut itu tampak tato kupu-kupu
menghiasinya. Fenomena macam apakah ini? Budaya apakah sesungguhnya yang sudah
menggejala ini dan sangat cepat merasuki anak-anak tanggung?
Dengan langkah pasti Tantri segera menemui guru BP.
“Ceritakan yang jujur Tantri, ada apa dengan ibumu?” Tiba-tiba Bu Ratna
langsung to the point.
Tantri masih diam. “Maksud Ibu apa ya, soal apa ya…” Dia
melototi wajah gurunya itu.
“Apakah karanganmu itu betul-betul menceritakan kisah
ibumu?”
Tantri terkesiap, bukan main kagetnya. Sangat menohok
jiwanya. Jadi selama ini, teman-teman dan guru-guruku sudah membaca cerpenku?
Dia sudah menulis riwayat hidup ibu kandungnya sendiri yang menjadi pelacur
jalanan—yang menghidupi dirinya, adik-adiknya dan ayahnya—yang kini
sakit-sakitan?
“Masa Allah, benarkah cerita itu?”
“Betul, Bu,”
“Astaghfirullah al adzim…”
“Aku menulis kisah pahit ibuku. Teman-temanku di saat ibunya
ulang tahun selalu memberikan kado dan jalan-jalan ke mal dan menaktrirnya.
Tapi aku hanya bisa memberikan kado berupa cerpen “Ibuku Seorang Pelacur”…”
“Ya, ampun,”
“Dengan mengisahkan ibu, aku berusaha menghargai perjuangan
ibuku dalam mengarungi hidup ini. Ibuku, pahlawanku, semangat yang tak pernah
padam,”
Bu Ratna sangat terharu dan tanpa disadarinya air matanya
berlinang. “Kau hebat, kau jujur…” dia terisak.
“Tapi, aku malu, Bu?”
“Kenapa?”
“Teman-temanku mengejekku sebagai anak perek, anak haram…”
“Sabar, Nak?”
“Aku minta maaf sudah membuat malu keluargaku,”
“Kembangkan bakatmu, Nak. Kau berbakat jadi pengarang…”
lagi-lagi Bu Ratna memujinya.
Tantri pamit dan kembali ke kelas.
“Banyak kisah pahit yang akan kutulis, Bu,” katanya sambil
meninggalkan guru BP itu.
Bu Ratna tak membalasnya dan hanya memandangi langkah gadis
bau kencur yang polos, jujur, dan apa adanya. Namun, dia bangga dengan
kejujuran gadis berusia 16 tahun itu.
“Mengapa ibumu terus melacur, Nak?” Kembali Ratna terisak
sendiri.
Bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Apakah karena ayah dan
ibu mereka sudah tak mampu membiayai kehidupannya? Apakah banyak orang tua yang bekerja apa saja
asal anaknya bisa sekolah? Apakah biaya pendidikan itu sudah mahal?
*
Dewan pendidikan dan komite sekolah bersepakat mengadakan
rapat atas terkuaknya salah satu murid yang mengungkap jerih payah ibunya untuk
menyekolahkan anaknya dengan menjadi pelacur. Dunia pendidikan merasa sudah
tercoreng?
“Tantri harus dikeluarkan….” Cetus Hamdani, sang kepsek SMK
Mandiri Pertiwi yang dikenal penuh disiplin dan galak ini.
Semua guru merasa dipojokkan. Hasil rapat memutuskan agar
Tantri dikeluarkan saja atau dipindahkan ke sekolah lain. Benarkah gadis
eksentrik itu dianggap sudah menodai wajah sekolah yang mengusung visi sekolah
relijius? Benarkah dia sudah menghina martabat kaum wanita?
“Kami malu. Kita gagal mendidik anak,” seru Ahmad, guru
agama.
“Apalagi kota kita berpredikat kota wali, sangat prihatin
ada anak pelacur sekolah di sini,” timpal Rohendi, guru IPA.
Buruk muka cermin dibelah. Begitulah, hanya karena kejujuran
seorang Tantri, yang menyingkap sisi lain dari kehidupan ini, semua mendapat
malu. Siapa sesungguhnya yang salah dalam hal ini?
“Tantri itu hanya salah satu contoh murid yang jujur,Pak,”
celetuk Tata, guru IPS, “Ada lagi yang perlu kita ulas. Ayahnya Tom kini
meringkuk di penjara. Beliau mencuri TV hanya karena sudah tidak punya uang
untuk bekal anaknya.”
“Ibunya Irma juga sama Pak, dia masuk jeruji besi gara-gara
ikut mengedarkan ganja, Pak,” tak mau kalah kali ini Bu Mira terpaksa
menceritakan.
“Ini semua gara-gara kurikulum yang salah, Pak. Kita sering
mengganti kurikulum sementara sangat sedikit pelajaran moral, Pak?”
“Bapaknya Arman koruptor, Pak. Dia jadi tahanan kejaksaan,”
“Ibunya Aris juga diciduk polisi, Pak. Dia terpaksa jadi
kurir narkoba yang menggiurkan.”
“Sudah, sudah, saya pusing membahasnya…” Hamdani naik pitam
dan rapat dihentikan.
Dekadensi moral sudah terjadi. Akhlak sudah runtuh. Miras oplosan
merenggut nyawa anak-anak muda. Aparat keamanan malu dan dapat kecaman. Para
guru dianggap tidak memberikan pendidikan moral yang benar. Para pejabat
bagaikan ditampar mukanya.
“Robohnya moral kami,” Hamdani merenung sendiri.
**
Dua tahun kemudian.
Seorang gadis cantik dengan rok mini yang mengundang hasrat
lelaki tampak gelisah di persimpangan jalan malam itu. Gadis itu mengangkat HP
dan bercakap-cakap dengan seseorang di seberang sana.
“Halo sayang, sabar ya, saya bentar lagi nyampe,”
“Ya, Ayah, aku selalu menunggumu,”
Malam itu Kota C bagaikan bermandikan cahaya. Banyak gedung
dan hotel memamerkan kemewahan. Pusat pertokoan terasa menggeliat. Hilir mudik
kendaraan silih berganti dan derunya seperti nada-nada yang bergema. Kota C
sudah memanjakan kaum berduit. Segalanya harus dibeli dengan uang. Uang dan
gengsi hidup sudah mengakar dari waktu ke waktu.
Malam ini, gadis mulus dan seksi itu harus menemani tidur
seorang pejabat negara.
“Rp5 Juta untuk long
time, kalo short time Rp.2 Juta,”
seru gadis itu.
“Kok tarifmu naik sayang,”
“Semua harga sudah merangkak naik, kan, hehe,”
“Oke, deh.”
Begitulah, dari malam ke malam, dari waktu ke waktu, gadis
itu tanpa disadari sudah menjadi profesi untuk kehidupannya.
Malam-malam seusai kencan untuk yang kesekian kalinya, dia
menggumam: aku menjadi pelacur…
Tantri mengambil diarinya dan menulis: Maafkan aku, ibu, aku terpaksa menjadi kupu-kupu malam…***
Kota C, 04012015, Garib Ganjar Santika, menyandang ransel,
hidup untuk menulis, menulis untuk hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar