kenapa harus jadi pengarang
Jumat, 20 Februari 2015
Mencintai Buku, Mencintai Hidup
Pupuk Gagasan, Panenlah Karyamu
Kegemaran membaca buku yang terus dipupuk, lambat laun akan menghasilkan produksi ide yang tak terbendung. Tak salah banyak yang bilang: buku adalah gudang ilmu. Dengan banyak membaca buku, akan memasuki gudang yang luas, gudang yang penuh dengan ilmu. Ada juga pepatah lain: buku adalah jendela ilmu. Tak salah memang. Jika makin asyik dengan bacaan, kita seperti membuka jendela, membuka cakrawala berpikir, membuka dunia yang seluas-luasnya.
Seseorang yang punya cita-cita menjadi penulis, jika dibarengi dengan banyak bacaan tentu pikirannya akan makin terbuka. Buku yang mengajarkan menjadi penulis atau pengarang sudah banyak. Apa makna dari Buku Mengarang itu Gampang, karya Arswendo Atmowiloto?
Apa pula maksud Buku Creative Writing yang ditulis Naning Pranoto? Kemudian, apa yang tertuang dalam Buku Mengatasi Hambatan untuk Mengarang, yang dipaparkan Wilson Nadeak? Tentu kalau dirunut, akan makin banyak buku-buku pelajaran menulis dan mengarang tersebut.
Bahkan, dengan adanya fasilitas internet, dengan banyaknya website dan blog saat ini, pelajaran menulis dan mengarang banyak disajikan. Cukup klik: bagaimana cara menulis atau mengarang di google, Anda akan banyak menemukan informasi cepat saji.
Bagaimana pula bagi seseorang yang berminat menjadi pengusaha? Tentu, panduan buku menjadi wirausahawan pun banyak ditulis para pakar di bidangnya. Menarik membaca tentang Bob Sadino, pengusaha nyentrik yang otaknya brialian dan idenya cemerlang--membuat siapa pun akan termotivasi menjadi pengusaha sukses.
Pada akhirnya, mencintai buku mendorong seseorang akan mencintai kehidupannya kelak. Boleh jadi, buku adalah guru yang mengasyikkan, boleh jadi buku adalah teman setia untuk memotivasi hidup untuk bertindak cepat dalam menyikapi tujuan hidup kita.
Maka rawatlah buku Anda, baca dan simak, lantas bergeraklah dari saripati ilmu buku tersebut. Kelak, setelah Anda pupuk gagasannya, panenlah dengan karyamu. Setuju? (catatan garib)
Jumat, 06 Februari 2015
Memperlakukan Waktu yang Cukup
Menulis itu Rutinitas yang Dicintai
Salah satu pekerjaan yang dinilai mudah dan murah,
adalah menulis. Kegiatan ini bisa dilakukan di mana saja dengan waktu kapan
saja. Semaunya. Namun, bagi sebagian orang—yang sudah mantap memilih menulis
sebagai kreativitas, tentu punya disiplin waktu yang terjaga.
Novelis muda Eka Kurniawan yang melahirkan “Cantik
itu Luka”, memperlakukan waktu secara khusus untuk menulis. Hidupnya bertarung
dari dunia menulis. Menulis baginya, bukan lagi aktivitas waktu senggang atau
kesenangan semata. Menulis itu gairah hidup yang terus menyala.
Lain lagi pendapat Putu Wijaya, sastrawan Indonesia
yang selalu bertopi ini, menulis adalah perjuangan hidup. Misinya antara lain
mengajak pembaca untuk sigap dan kuat dengan teror mental. Menyelami karya
dramawan nyentrik ini, kita seolah diajak berdialog dengan isu-isu yang ada di
sekeliling kita. Isu-isu yang terkadang menyelinap ke dalam jiwa raga kita.
Penulis
produktif yang dikenal berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah
yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya,
baik drama, cerpen, maupun novel, telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing,
antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan
Thailand. Karyanya seperti Dor, Blong,
Ayo, Awas, Los, dan Aum, memiliki karakter tersendiri.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya.
Terhadap
karya-karya Putu itu, Rachmat Djoko Pradopo (dalam Memahami Drama Putu Wijaya:
Aduh, 1985) memberi komentar bahwa Putu berani mengungkapkan kenyataan hidup
karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar, lebih-lebih libido
seksual yang ada dalam daerah kegelapan.
Pengarang lain yang dikenal melahirkan best seller, Asma Nadia mengakui
dunia menulis adalah dunia yang digaulinya. “Saya jatuh cinta pada dunia
menulis. Berawal dari hobi, beralih menjadi profesi, dan kini menjelma rutinitas yang begitu saya cintai. Saya rindu
jika lama tak mengetik. Saya rindu jika berjauhan dari komputer karena ke luar
kota. Saya kira tentu penyebab cinta begitu besar itu, bukan hanya sekadar
kegemaran. Melainkan sesuatu yang lebih dari itu. Lewat menulis saya berbicara,
tentang apa saja yang meresahkan batin saya. Lalu lewat buku, saya ingin
menyebarkannya pada lebih banyak orang. Dengan cara itu saya berkomunikasi
dengan ribuan pembaca. Dengan cara itu saya juga mendapatkan banyak cinta. Mudah-mudahan
cinta-Nya jika saya ikhlas dan menulis ini bisa dianggap ibadah oleh-Nya,”
papar dia.Dengan begitu, menulis adalah kerja yang terus berpacu dengan waktu. Kerja yang terus diburu oleh imajinasi yang menyeruak ke dalam sisi batin pengarangnya. Kerja kreator seni seni, mampu membangkitkan gairah hidup bagi pembacanya. Para penikmat seni, pada akhirnya akan menangkap pesan-pesan yang disampaikan para penulis.
Untuk seperti mereka yang sukses memilih jalan hidup dari menulis, dibutuhkan kesiapan waktu yang cukup. Selama 24 jam dalam sehari, andaikata dibagi 3 bagian, yakni 8 jam untuk ibadah, 8 jam untuk istrirahat, dan tersisa 8 jam lagi untuk bekerja. Cukupkah waktu yang tersedia untuk menulis? Kapan menulis, pagi, siang atau malam?
Orang-orang sukses mengajarkan, perlakukan waktu untuk sebaik mungkin. Jika Anda tak punya waktu khusus untuk menulis, urungkanlah niatmu untuk menjadi penulis? Karena, menulis bukan saja kerja rodi yang dipaksakan. Seperti kata Asma Nadia, menulis adalah rutinitas yang dicintai. Kenapa tidak? (catatan garib)
Minggu, 01 Februari 2015
Sastrawan Miliki Kepekaan Puitik Luar Biasa
Kemampuan Kreatif dari “Indra Keenam”
Menarik membaca tulisan Abdul Rozak
Zaidan dalam Ihwal Sastra Ihwal Kreativitas dalam sebuah rubrik yang dimuat di Horison—saya
lupa arsipnya entah di mana sekarang. Namun, yang lebih penting ialah inti
persoalan bahwa sastrawan merupakan manusia yang dipilih yang dianugerahi
kemampuan kreatif oleh Sang Maha Pencipta.
Menurut sang penulis, boleh
dikatakan bahwa sastrawan itu dilahirkan seperti manusia pada umumnya. Namun,
ia memperoleh “indra keenam” yang membuatnya dapat memasuki pikiran dan peri
kehidupan manusia lain. Manusia lain itu kelak akan menjadi tokoh rekaan yang
dapat dikenal luas oleh pembaca yang pada gilirannya akan menjadi mitos yang
memiliki kekuatan untuk dikenang untuk dijadikan contoh.
Laku dan sikapnya dikenang oleh sang
pembaca dan dalam batas tertentu menjadi “teman” sang pembaca. Selain
itu, ia dikaruniai kepekaan untuk menangkap makna dari setiap peristiwa,
tokoh, dan bumi yang dipijaknya. Kemampuan ini menjadi modal dasar baginya
untuk menciptakan manusia rekaan yang mungkin dijumpainya dalam
pengalaman hidup kesehariannya.
Dari sisi pembaca, kemampuan
berimajinasi disertai kemampuan penghayatan yang mendalam terhadap manusia dan
persoalan zamannya akan mempertemukan pembaca dengan pikiran dan perasaan sang
pengarang. Kedua kemampuan itu pada gilirannya akan menjadi dasar bagi
ditemukannya konsep pemahaman atas karya sastra dan seni pada umumnya. Dengan
begitu, berkembang pula teori untuk menyambut kreativitas sang pengarang.
Berbagai wujud teori itu hakikatnya adalah kreativitas dalam bentuk lain
yang dapat menjadi lebih berkembang lagi di masa depan.
Kemampuan kreatif memerlukan
keberanian kreatif, keberanian untuk menghadapi risiko yang timbul akibat
laku kreatif yang mengungkapkan ihwal yang tidak biasa. Keberanian kreatif
dibutuhkan untuk menampilkan sesuatu yang lain dari yang biasa di luar
adat. Keberanian kreatif menjadi modal untuk melancarkan kritik kepada
penguasa yang zalim. Ketika sebuah rezim menjadi amat kuasa, kritik yang
dilancarkan sastrawan dapat saja menjadi jalan untuk masuk bui, juga pernyataan
yang berlawanan dengan kebijakan politik baik dalam sastra maupun laporan
investigasi jurnalistik, misalnya.
Abdul Rozak Zaidan pun memberikan
apresiasi pengarang Mochtar Lubis dapat disebut sebagai pengarang yang memiliki
keberanian kreatif untuk bersebarangan dengan politik pada masa Orde Lama dan
Orde Baru sekaligus. Dia mendapat julukan wartawan jihad dan itu menjadi salah
satu judul buku untuk mengenang keberaniannya. Pada Masa Orde
Lama Mochtar Lubis baru dapat menerbitkan novel Senja di Jakarta di
Malaysia.
Novel itu mengungkapkan persoalan
korupsi yang dilakukan penyelenggara Negara. Demikian juga pada masa Orde Baru
korannya Indonesia Raya membongkar kasus korupsi di Pertamina. Kasus
yang mirip dialami juga oleh WS Rendra pada masa Orde Baru berkaitan dengan
pembacaan sajak dan pementasan drama yang mengeritik pemerintah. Dalam Kumpulan
sajaknya Potret Pembangunan dalam Puisi dan Orang-Orang
Rangkasbitung mengungkapkan gagalnya pembangunan untuk menyejahterakan
rakyat. Menjelang Reformasi, Wiji Thukul melakukan gerakan perlawanan melalui
penciptaan dan pembacaan sajak. Sampai sekarang penyair Aku Ingin Jadi
Peluru itu tidak jelas nasibnya, hilang sejak kerusuhan 21 Mei 1987.
Selepas Reformasi pula Taufiq Ismail mengumpulkan sajak yang mengambil
tema menyuburnya budaya korupsi di tanah air dengan judul Malu Aku Menjadi
Orang Indonesia yang diakronimkan Majori. Penyair itu merasa tidak nyaman
menjadi orang Indonesia karena laku korupsi yang merajalela.
Kreativitas yang dimiliki manusia
membawa manusia pada statusnya sebagai wakil Tuhan di dunia. Atau, dalam
statusnya sebagai wakil Tuhan itu, manusia diperlengkapi dengan kreativitas itu
oleh Sang Pencipta. Sutan Takdir Alisjahbana (1983: 36-37) menegaskan
adanya keistimewaan manusia dalam wujud budi yang membedakannya dari makhluk
lain yang dengannya manusia memperoleh kemungkinan untuk terus-menerus
menciptakan. Melalui evolusi alam, manusia mendapat budi yang memungkinkannya
berkreasi. Kreativitas manusia dalam kaitannya dengan status manusia
sebagai wakil Tuhan di dunia amat jelas.
Kemampuan memanfaatkan “indra keenam”
seperti dibuktikan sastrawan Danarto yang menciptakan “Godlob”. Pengamat sastra Jamal D Rahman dalam
tulisannya mengapresiasi karya Danarto adalah sastrawan Indonesia terkemuka,
yang sangat menonjol terutama dalam genre cerita pendek. A Teeuw memandang
karya-karya Danarto sebagai corak pembaruan dalam khazanah sastra Indonesia modern,
yang secara paradoksal berakar dalam kebudayaan tradisional. Tampil
mewakili panteisme Jawa, dia telah menjadikan berbagai hal luar biasa bertemu
dan segala hal yang paling ganjil jadi mungkin (Teeuw 1989: 201-203). Abdul
Hadi W.M. berpendapat bahwa karya-karya Danarto memperlihatkan kecenderungan
sufistik dan gagasan-gagasannya memiliki pertalian dengan gagasan para sufi,
sebagaimana kebatinan Jawa menerima banyak pengaruh dari tasawuf (Hadi W.M.
1999: 22).
Demikianlah cerita-cerita Danarto merefleksikan imajinasi kreatifnya
yang penuh pesona, yang dengan lincah dan merdeka mengaduk-aduk cerita dan
gagasan dari berbagai sumber berbeda-beda, sekaligus menfiksikan konsep-konsep
metafisis yang musykil. Secara umum jelas dia menyuarakan dimensi-dimensi
mistik Islam Jawa yang mengandung banyak spekulasi filosofis dan kesatuan
mistis. Konsep-konsep metafisis yang biasanya diuraikan lewat narasi diskursif
atau puisi, kini diturunkan ke dalam fiksi sebagai karya sastra Indonesia
modern.
Jamal D Rahman mengulas bagaimana titik
tolak yang sangat penting bagi penghayatan kerohanian Danarto terjadi pada
tahun 1964 di Jakarta (Danarto 1988). Ketika itu dia melihat seorang bayi dalam
kotak kayu. Bagi orang lain, bayi tersebut sesungguhnya biasa saja seperti
umumnya bayi. Tapi entah kenapa bayi itu seakan menguasai perasaan Danarto
dengan luar biasa. Ia secara ajaib menggoncang jiwa dan batin Danarto hingga
dia merasa lemas kehabisan tenaga. Dia terguncang hebat. Dia pandang dari dekat
bayi yang tergolek tak berdaya dalam kotak kayu itu dengan rasa takjub. Bagi
Danarto, sang bayi tampak memancarkan cahaya kebesaran dan keagungan.
Dia
terpana, hanyut, dan tenggelam dalam cahaya kebesaran dan keagungan itu.
Danarto menyebutnya “bayi yang Tuhan”, yakni bayi yang mempertunjukkan padanya
kebesaran dan keagungan Tuhan. Tentu ini satu bentuk pengalaman ekstatis,
di mana momen kerohanian yang sangat penting dan menentukan tengah berlangsung.
Pengalaman serupa terjadi lagi di tahun 1968 di Bandung, di mana dia melihat
“tukang kebun yang Tuhan”, “sopir yang Tuhan”, “binatang yang Tuhan”.
Akhirnya, kata Danarto, “[Menurut] Perasaan saya apa yang terbentang mengisi
seluruh hamparan, sudut, dan pelosok, tidak lain kecuali Tuhan.” Bagi Danarto,
pengalaman ekstatis itu merupakan sebuah karunia. ‘Karunia yang sesungguhnya
sulit saya katakan dalam bentuk kalimat-kalimat, ”katanya. Dan kelak dia
menjadikan karunia tersebut sebagai wawasan estetiknya. Pengalaman itu bukan
suatu kebetulan.
Begitulah, kemampuan “indra keenam”
merupakan sarana yang melancarkan lahirkan ide-ide kreatif, ide yang kuat
mempengaruhi pikiran dan batin, ide yang kadang-kadang menyelinap dalam
sanubari.
Maka dari itu, tulislah, write, jangan sampai idemu mampet, dan
menjadi gelisah. Setiap orang tentu memiliki “indra keenam”, asalkan saja
kemampuan mendeteksi dan kepekaan lahir batin itu, yang membedakan seseorang
mampu apa tidak menjadikannya karya sastra. Let
try to write, cepat ambil pena dan bertekad kuat menjadi pengarang, seperti
para pendahulu yang sudah mewariskan sejuta gagasan kreatif. (catatan garib)
Waspadalah Kejahatan Ada di Depan Mata
Generasi “Lebay” VS
Generasi Revolusi Mental
Kehebatan dan
kecanggihan dunia maya saat ini, meski mengagumkan, akhir-akhir ini mengkhawatirkan.
Mengapa tidak, fasilitas layanan internet yang memudahkan terjadinya kontak sosial,
yang murah dan mudah, dapat mengecoh seseorang akibat perkenalan singkat. Salah
satunya lewat media sosial seperti Facebook.
Tak jarang kejahatan
pun bermula dari pertemanan di dunia maya yang menghipnotis siapa saja. Gejala
apakah ini? Apakah, karena orang-orang sekarang lebih menyukai pergaulan via
internet daripada mengembangkan silaturahmi antar teman?
Ataukah karena
derasnya kemajuan teknologi yang tanpa kita sadari, kita digiring ke alam maya,
alam dunia tanpa batas?
Kejahatan seksual
terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Majalengka terbilang tinggi. Sejumlah
kasus yang tercatat rata-rata kejahatan seksual dilakukan oleh orang terdekat
korban. Pelecehan seksual di
Kabupaten Majalengka, angka tersebut terus naik. Sebagai contoh data pada Maret
2013, diketahui ada 7 kasus serupa yang diterima Polres Majalengka sekarang
ini.
Dari sekian kasus
tersebut rata-rata dialami oleh anak dibawah umur, pelajar SMP, SMA, dan
sebagian besar di antaranya, para pelaku kejahatan dan kekerasan seksual ini
dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, mulai teman dekat, pacar, hingga
tetangga.
Sumber Polres Majalengka
diketahui, kasus kejahatan seksual di Kabupaten Majalengka motifnya beragam,
mulai dari suka sama suka hingga dijanjikan akan nikahi, namun apalah daya
pelaku tampaknya hanya rayuan setan belaka, sehingga pihak korban merasa
kecewa. Atau ada juga dibujuk secara dipaksa dengan diberi minuman yang sudah
dicampuri obat perangsang maupun minuman keras, hingga korban tak lagi berdaya,
dan pelaku pun nekad mencabulinya walaupun orang baru dikenal sekali pun.
Kita prihatin, salah
satu kasus tindak pencabulan yang dilakukan Encon Bin Enjun (28) warga Desa
Sangiang Kecamatan Banjaran yang telah mencabuli Bunga (14), sebut saja begitu,
asal Desa Sunia Baru Kecamatan Banjaran.
Bunga dicabuli di rumah
tersangka sebanyak dua kali, dengan cara memberikan sebotol minuman yang sudah
dicampuri Pil KB, sehingga korban tak sadarkan diri. Ironisnya pelaku nekad
mencabuli Bunga padahal baru saja dikenal melalui dunia maya. Lalu korban
setelah pulang ke rumah langsung menceritakan kepada kedua orang tunya yang
telah dialami dirinya. Kontan saja pihak keluarga Bunga langsung melaporkan
kejadian yang menimpa anaknya itu ke Polsek setempat. Pelaku pun langsung
diciduk yang saat itu pelaku berada di rumahnya.
Sejauh ini, kepolisian
melalui unit Perlindungan Anak dan
Perempuan (PPA) sudah menjalankan fungsinya dengan baik. Polisi cukup aktif
melakukan pengungkapan dan penindakan kasus. Terutama, saat korban melakukan
pelaporan. “Trennya setiap tahun naik, jelas kondisi ini memprihatinkan, namun
bagaimana pun upaya menurunkan kejahatan itu perlu dimulai dari lingkungan
keluarga,” katanya.
Pihaknya akan mengusut kasus seksual yang rata-rata
menimpa para kaum hawa yang seusianya
mulai dari 16 tahun hingga 18 tahun, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. “Saya
tidak akan memberi toleran bagi para pelaku serta tidak akan pandang bulu, saya
akan tangkap para pelaku dan diproses serta akan langsung jebloskan. Karena ini menjadi atensi kami dan kami akan
usut sesuai prosedur dengan mengedepankan profesionalitas,”ungkap petugas
polisi itu.
Nah, lho, tampaknya generasi muda jangan menjadi generasi
“lebay” yang mudah terpengaruh oleh ajakan dan bujukan oleh siapa pun, apalagi
melalui perkenalan singkat. Banyak contoh kasus yang mengemuka ke media, korban
pelecehan seksual makin banyak terjadi.
Siapkan dirimu menjadi generasi revolusi mental, yang
siap menyaring dari ancaman dan ajakan sesat dari siapa pun dan di mana pun. Kehidupan sekarang ini yang heterogen, di
saat kemajuan teknologi makin mempengaruhi budaya kita; kita tak sadar dibawa
kepada arus hidup yang salah jalan. Arus yang mengajak kita kepada budaya hedonism,
budaya yang bukan miliki kita. Waspadalah, ingat, seperti pesan polisi:
kejahatan ada di depan kita. (catatan garib)
Langganan:
Postingan (Atom)